Rabu, 22 November 2017

Cerita Dari Kabin D7 523 Tokyo-Kuala Lumpur

Memoar Perjalanan Jepang November 2017

13 Nov 2017
Dalam Penerbangan Tokyo Ke Kuala Lumpur Air Asia D7 523
23.45 Malam-6.20 Pagi

Aku takut terbang. Aku selalu dan mungkin akan menjadi “a nervous flyer”, tak peduli seberapa banyak aku terbang. Jika aku bisa memilih, aku lebih baik memilih transportasi lewat darat. Tapi di zaman sekarang ini,untuk efisiensi waktu dan uang, pesawat lah yang paling efektif. Perjalananku dengan pesawat terbang masih bisa dihitung dengan jari; Bali-Bandung PP, Bangkok –Jkt PP , lalu sekarang Jkt-Kuala Lumpur PP, dan Tokyo-Kuala Lumpur PP.

Seperti biasa penerbangan Air Asia tengah malam itu fullbooked. Semua orang sudah mengantri ke gate. Banyak warga Jepang dan Malaysia dalam penerbangan malam itu karena memang dari Tokyo ke Kuala Lumpur.

Aku segera masuk ke dalam kabin pesawat, dengan disambut pramugari cantik berpakaian merah menyala khas Air Asia dan segera mencari tempat dudukku di 41 F. Seperti biasa aku kebagian duduk di tengah diantara dua kursi. Untuk longhaul flight memang memakai pesawat besar yang dalam satu barisnya muat 9 kursi dengan formasi 3-3-3. Dan tempatku duduk itu di tengah di baris kursi yang tengah.

Kadang aku berpikir bagaimana mungkin pesawat yang begitu besar ini bisa terbang ke langit layaknya burung. Jika kau mencari-cari tentang magic, tak perlu jauh-jauh membayangkan Harry Potter. Pesawat segede rumah gini bisa terbang juga sudah merupakan sihir menurutku.

Aku pun duduk dengan rapi di kursi, menunggu teman duduk di sebelah kanan dan kiriku datang. Dan berharap agar mereka perempuan agar aku tidak kikuk dan bisa ngobrol seperti yang kutemui di pesawat sebelumnya di perjalanan dari Kuala Lumpur ke Tokyo. Aku duduk dengan Nina, warga Malaysia yang sedang studi S2 di Jepang. Mendengar aku bepergian sendiri ke Jepang, dia memberikan nomor hpnya padaku dan mengajakku untuk bergabung dengan teman-temannya pada tgl 12 november, karena mereka akan tamasya ke Nikko untuk melihat daun-daun musim gugur. Bagian ini akan kuceritakan lagi di bagian lain nanti.

Tak lama kemudian seorang ibu berkerudung datang, dengan bahasa melayu Malaysia menyuruh anak laki-laki yang berumur sekitar 17-18 tahunan untuk duduk di sebelahku. Well, pupus sudah harapanku untuk punya teman duduk perempuan :D .

Selang beberapa menit, ada suara seorang laki-laki menegurku, “Excuse me..” Aku menoleh ke sisi kananku dan melihat seorang laki-laki jangkung berkulit putih dan berwajah Asia menatapku. Alisnya hitam, ra mbutnya pendek. Dia berumur sekitar 25 tahunan. “Is this 41?”

“Oh, yes,” jawabku beberapa detik kemudian.

“Ok,” jawabnya. Dia lalu duduk di sebelahku, membereskan tasnya dan merapikan jaketnya. Aku sekilas melihat paspor biru tua yang dipegangnya, di atas paspornya tertera huruf Kanji yang tak aku mengerti, lalu ada lambang  entah matahari/bunga, lalu di bawah lambang itu ada huruf latin tertera, “JAPAN PASSPORT”. Dia mengobrol dengan bahasa jepang dengan seorang teman laki-lakinya yang duduk di sebrangnya

Damn, umpatku dalam hati. Alih-alih dapat teman duduk perempuan, aku malah dapat teman duduk cowok jepang ganteng. Oh my Goood. Heiii aku kan udah bersuami dan jadi emak emak anak dua harus sadar diri hehehe.

Pesawat mulai berjalan ke tempat landasan pacu sementara para pramugari dan pramugara memperagakan keselamatan. Dari Intercom yang bergema dalam seluruh pesawat , terdengar Kopilot memperkenalkan seluruh awak kabin , yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Jepang oleh  salah satu pramugari.

Peragaan keselamatan selesai, seluruh awak kabin mengencangkan sabuk dan duduk di kursi masing-masing. Lampu pesawat diredupkan, mesin pesawat mulai berdengung kencang, dan roda-roda pesawat mulai berlari. Kemudian sensasi melambung itu mulai terasa saat hidung pesawat mulai menukik ke dalam malam yang gulita. Seluruh kabin senyap, lampu masih belum dihidupkan dan pesawat masih tetap berguncang keras. Aku tak hentinya melafalkan syahadat dalam hatiku.

Nah, kataku dalam hati, biasanya setelah pesawat telah mencapai “cruising altitude” tanda sabuk pengaman akan dipadamkan, lalu lampu kabin akan dinyalakan, dan pramugari cantik itu akan segera membagikan makanan dan minuman. Tapi setelah lama ditunggu-tunggu lampu sabuk keselamatan tetap menyala dan lampu tetap dipadamkan dan pesawat masih berguncang keras. Lalu dari Intercom yang bergema ke seluruh kabin copilot mengumumkan, “…due to the turbulence, please be seated with your safety belt buckled in. the toilet would not be available in this moment…”

Mendengar itu aku hanya bisa terus melafalkan syahadat, beginilah saat orang yang takut terbang ketika harus terbang. Aku melirik ke kiri, ke anak remaja  Malaysia di sebelahku yang hanya diam membisu, lalu melirik ke lelaki jepang di kananku, yang  tampak sedang sibuk memainkan game di smartphonennya dengan headset terpasang di kedua telinganya. Setelah guncangan yang berlangsung entah beberapa lama, akhirnya lampu kabin dinyalakan dan kopilot mengumumkan bahwa passanger bisa menggunakan toilet dan makanan akan dibagikan. Aku pun mengeluarkan nafas lega sambil mengusap wajahku. Rupanya tingkahku itu menarik perhatian pria Jepang di sebelahku itu, dia sejenak berhenti dari main game di smartphonenya dan melirikku. Membuatku malu sendiri.

Pramugari memberikan makanan jatahku, nasi biryani, sementara anak remaja Malaysia di sebelahku mendapat spagettinya. Pria jepang itu tetap sibuk dengan main game di smartphonenya. Saat aku kesulitan membuka tutup botol air mineralku, remaja Malaysia di sebelahku menatapku lalu mengangguk pelan, menawarkan untuk membukakan tutup botolnya . Aku pun memberikan botol air mineralku kepadanya dan dia membantu membukakannya. “Terima kasih,” bisikku padanya. Dia tersenyum. Sweet kid.

Setelah makan dan minum selesai dan para awak kabin mengumpulkan sampahnya, tiba-tiba lampu kembali dipadamkan, dan kopilot kembali mengumumkan kalau kita akan menghadapi turbulensi sehingga sabuk harus tetap terpasang. Pesawat berguncang keras, lalu para pramugari berkeliling untuk memastikan para passanger mengenakan sabuk di kursinya sambil berkata, “Seat belt in,please…”

“Cabin crew please be seated!” perintah kopilot melalui Intercom.

Aku pun menelan ludah. Kalau kru kabin yang sudah terbiasa terbang juga sudah disuruh duduk dengan sabuk terpasang, berarti turbulensi yang akan dialami benar-benar parah. Meski begitu, aku tak melihat kabin kru, setidaknya yang di depanku, duduk dengan sabuk terpasang di kursinya seperti yang diperintahkan. Aku terus berdo’a dan mengingat anak-anakku di rumah, yang berumur 6 & 3 tahun. Aku mengingat bagaimana hangatnya tubuh mereka dan wangi bedak dan minyak telon dari tubuh mereka. Tuhan, aku hanya ingin memeluk mereka, tolong selamatkan aku, selamatkan pesawat ini (lebay memang, tapi waktu itu aku benar-benar ketakutan).

Pesawat terus berguncang keras, dan aku pun tak tahan lagi. Aku menoleh ke lelaki Jepang di sebelah kananku itu, menepuk lengannya. “Excuse me…” bisikku.   

Lelaki Jepang itu menoleh ke arahku, lalu buru-buru melepas headset yang menempel di telinganya sejak dari tadi. Dia menatapku dengan pandangan bertanya. “Do you want to go the bathroom?” katanya, hendak bangkit dari kursinya.

“No..no…” tahanku. “Are the flights  from Tokyo to Kuala  Lumpur at night always like this?” kataku. “Is it always getting  this bumpy?”

Mendengar pertanyaanku dia tersenyum. “Actually,no,” jawabnya tenang. “I don’t know why this night is different.”

Glek! Lah yang sudah terbiasa dengan rute ini juga bilang ada yang berbeda dengan penerbangan malam ini. Aku membayangkan pesawat ini mengarungi awan-awan kelabu di tengah lautan udara yang gelap, in the sky in the middle of nowhere. Aku terus berdo’a saja semoga tidak ada alat navigasi yang rusak di pesawat ini. Tak ada satu pun sekrup yang terlepas yang terlewat dari inspeksi para kru di darat yang bisa mengakibatkan hal-hal fatal.

“But it’s okay,” katanya buru-buru menambahkan. Mungkin melihat raut wajahku yang terlihat cemas di tengah redupnya cahaya kabin. “It’s’Asia aniway. We’ll be alright.”

“I’m scared,” bisikku. “I don’t fly many, so I don’t know…”

“It’s okay,” katanya dengan nada menenangkan. “Where are you from?” tambahnya lagi. 

“I’m from Indonesia,” jawabku.

“Ah ya,”’sahutnya. “Then what would you do in Kuala Lumpur?”

“My flight transit in Kuala Lumpur before I take another plane to Jakarta.”

“I see. Are you working in Japan or travelling?”

“I’m travelling,” jawabku dengan tersenyum.

“So how is Japan? Japan good,right? Japan cool, isn’t it?

“Yeah,” timpalku bersemangat. “Japan is so beautiful, I love it. So what are you doing in Kuala Lumpur?”

“I’m studying,” jawabnya.

“I see,” kataku. “What about your family?”

“Ya, I’m Japanese. My Family is in Japan. “ jawabnya. “Which part of Indonesia are you? You know I have a lot of friends in my college from Indonesia. They are from Surabaya, Jakarta…”

“Ohya?” seruku. “I’m from Cianjur, near Bandung. West Java. Have you come to Indonesia?”

“No, I have not.”

“You should come, it’s beautiful,” kataku. “You know, you speak English fluently for a Japanese.”

Dan memang benar, bahasa Inggrisnya lancar dan jelas, tanpa ada kelihatan logat Jepang sama sekal. Berdasarkan yang aku alami selama di jepang, rata-rata orang sana tidak bisa bahasa Inggris, atau kalaupun bisa, bahasa Inggrisnya tidak terlau jelas karena logat jepangnya.

Dia tersenyum mendengar pujianku. “I like to study internationally. You know, I don’t like to read Kanji.”

“Oh, really..?”

“Ya, and I don’t like cold weather, I like tropical country, so I come to Kuala Lumpur.”

“Really?” seruku lagi. Aku malah orang tropis yang mencari dingin dan ingin merasakan musim gugur. Dia malah mencari hawa panas negara tropis, hmmm…

Kami mengobrol berbagai macam hal lain lagi, sebelum akhirnya berhenti dan terlelap di tidur masing-masing. Lampu kabin tidak dinyalakan lagi, mungkin maksudnya untuk membiarkan para penumpang tertidur lelap. Aku hanya bisa tidur sekejap-sekejap, karena mesin pesawat juga berdengung berisik, belum dengan turbulensi yang terjadi.

Sekitar 6 jam berikutnya, kopilot mengumumkan dari  interkom yang bergema ke seluruh kabin, bahwa pesawat sebentar lagi akan landing di Kuala Lumpur. Dia menjelaskan bahwa karena cuaca Kuala Lumpur yang berawan dan sedikit hujan, proses landing akan terasa sedikit “bumpy” . Namun sebelum proses landing dilakukan, pramugari dan pramugara beredar sekali lagi untuk membagikan sarapan pagi.

Lelaki Jepang disebelahku sibuk membolak-balik sebuah majalah penerbangan yang berada di kantung kursi di depannya, sebelum dia menyentuhku dan menunjuk sebuah halaman di majalah itu. Kulihat halaman itu menampakkan beberapa kota di Indonesia dengan foto-foto keindahan alamnya masing-masing. “Which part are you?” tanyanya.

“Ah,” seruku. “This one.” Aku menunjuk Bandung dengan foto tangkuban perahunya. Tak ada pilihan Cianjur di sana, dan aku juga pernah tinggal di bandung dan masih sering bolak-balik ke sana sekarang, hehe. “You should come. It’s beautiful,” undangku. Not mentioning the traffic jam dan sampah dimana-mana, hehe. But Bandung is better now,anyway, setelah RK gencar melakukan perombakan wajah Bdg dimana-mana (Sorry, no political interest).

Dia mengangguk-ngangguk dan bergumam, “Bandung…Bandung…”

Lampu kabin kembali diredupkan untuk proses landing. Suasana kembali senyap, hanya terdengar suara deru mesin di kanan kiri kami. Setelah beberapa menit yang terasa seabad, roda pesawat menyentuh tanah, lalu rem, kemudian pesawat melalu proses parking untuk menuju ke terminalnya. Aku berseru dalam hati, “Alhamdulillah!”

Kami pun bersiap-siap mengemas tas kami.

Aku pun melontarkan pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranku dari tadi.”Why do you study in Malaysia? Why not In Japan?”

“Well, like I said earlier I like to study internationally. It’s cheaper here..and I like tropical country.”

“I see.. you are so different,” kataku

“As long as being different in a good way,” katanya sambil tersenyum.

Pikirku, mungkin orang ini bosan dengan masyarakat Jepang yang kaku dan ingin memiliki kebebasannya sendiri.

“Do you have bags up here?” tanyanya menunjuk atas kabin tempat menyimpan tas.

“No, I have my check in luggage.”

“I have my other  two bags here so I have to wait.”

Terdengar pintu pesawat dibuka dan disambungkan dengan gate.

“You know,” tambahku. “Actually I hate flying. I have to catch my next flight after this.”

“That’s okay..” katanya menenangkan.

Lalu dia berbicara tentang kartu SIM  Malaysianya yang expired, dan bagaimana dia mungkin tidak bisa order grab karena harus membeli kartu SIM baru. Dia menceritakan berbagai hal lain lagi dan hal lain lagi, yang hanya bisa aku timpali dengan “Really?” “Yes..” “I see..”. Wah wah ternyata orang jepang ini kalo sudah diakrabi bawel juga ya :D

Aku sudah melangkah ke Alley, antrian menuju keluar sudah mulai bergerak, dan untuk terakhir kalinya aku menoleh ke arahnya dan berkata, “Sayonara..”

Dia melambaikan tangannya dan berkata sambil tersenyum, “Have a nice flight…”

Aku pun melangkah keluar menuju bandara KLIA 2 yang sedikit lebih hangat. Tanpa tahu ada drama yang lain menungguku…


Senja di Odaiba, Sayonara Japan

Memoar Perjalanan Jepang November 2017

Odaiba, Tokyo
13 nov 2017
Sore hari menjelang matahari terbenam.
Suhu: 13 derajat celcius




Matahari bersinar miring di sisi timur, menandakan malam akan segera tiba.  Sinarnya menyinari "rainbow bridge" di depan teluk odaiba, tempat sekarang aku duduk di sebuah kursi taman.  Aku tahu tempat ini pertama kali dari serial Itazura Na Kiss Love In Tokyo,  scene dimana Irie Naoki dan Kotoko Airaha escaping dari kencan gagal mereka.

Tak percaya rasanya aku bisa sampai ke sini,  tempat yg dulu hanya aku bisa pandangi dari layar kaca.  Turis-turis lain dan warga tokyo banyak yg menikmati suasana di sini. Suasananya sangat tenang,  dengan dengung pelan kapal fery yg melintas dan suara burung yang berkicau dari atas pepohonan di sisi teluk.

Aku menghabiskan jam-jam terakhirku di jepang dengan memandangi Rainbow Bridge dan meresapi suasana damai yg ditawarkan dari deburan ombak dan dengungan kapal fery. Perlahan malam mulai merayap turun,  dan serta merta "Rainbow Bridge" di depan mataku menyuguhkan lampu-lampunya yg berkelap -kelip.

Penerbanganku berangkat tengah malam sekarang dari Haneda Airport. Rasanya senang sekaligus sedih aku akan segera meninggalkan jepang.  Senang karena aku akan segera kembali ke rumah,  bertemu dengan keluarga dan anak-anakku.  Sedih karena aku akan meninggalkan jepang, yang setiap sudutnya sangat indah, negara yang sangat teratur dan bersih,  toilet yg hangat dan canggih,  kereta yg tepat waktu...

Aku tidak tahu apakah akan kembali ke sini atau tidak.  Karena setelah ini, jepang bukan prioritas lagi sebagai negara yg akan kukunjungi.  Aku ingin melihat keindahan dunia yang lain lagi.

Semakin malam udara menjadi semakin dingin.  Aku pun kembali menggendong tas ranselku dan melangkah menuju tokyo metro yang akan membawaku ke Haneda Airport.  Sayonara Japan...

Kyoto, Pada Suatu Sore di Musim Gugur

Memoar Perjalanan Jepang November 2017



Kyoto,  10 nov 2017
Sebuah taman di depan Heian Shrine.
Suhu: 14 derajat celcius

Sore hari menjelang di kota kyoto.  Dedaunan musim gugur berwarna merah muncul di sepanjang pohon di sepanjang jalan. Sinar matahari menyinari dedaunan merah itu hingga menjadi keemasan. Sebagian telah berguguran menghiasi trotoar yang bersih.  Di bawah pohon-pohon itu,  banyak warga kyoto sedang berkelekar sambil duduk-duduk.  Banyak yang membawa anak-anaknya bermain. Seorang anak menangis terjatuh lalu dihibur oleh ibunya.  Siang Menjelang sore temperatur lebih sedikit menghangat karena matahari siang,  sebelum temperaturnya turun lagi menjelang matahari tenggelam.

Aku menyibukkan diri untuk memfoto suasana yg damai itu,  sebelum akhirnya memutuskan untuk meminta tolong orang untuk memfotoku.

Aku melihat gadis muda berkucir satu berjalan melintas. Dan refleks saja aku mendekat dan berkata,  "Sumimasen. " sumimasen adalah kata dari bahasa Jepang yg berarti permisi.

"Ha'i, " jawab gadis itu.

"Bisakah kamu memfotoku?  Dengan latar pemandangan ini? " lanjutku dalam bahasa Inggris.

"Ohya tentu saja" jawabnya dengan bahasa Inggris juga.

"Maaf aku mengganggu waktumu."

"Ah,, Tidak sama sekali. "

"Pemandangannya cantik sekali ya," kataku lagi,  menunjuk ke belakang.

"Ah ya,  cuacanya memang sedang bagus hari ini, " jawabnya,  mengarahkan kamera ke arahku.  "Aku akan mengambil beberapa foto,  lalu kamu bisa pilih mana yg kamu suka. " dia memencet tombol kamera sedangkan aku mulai berpose.

"Nah selesai, " katanya,  lalu memberikan kameranya padaku. Coba lihat apakah kamu menyukainya.

Aku melihat hasil jepretannya.  "Ah ya, " teriakku.  "Bagus sekali,  terima kasih. "

"Ya sama2," sahutnya tersenyum.

"Aku suka sekali Kyoto,  kotanya indah sekali, " lanjutku lagi.

"Ya terima kasih,  aku harap kamu menikmati perjalananmu ke sini, " jawabnya dengan senyum yg manis.  "Dari mana asalmu?"

"Aku dari Indonesia, " jawabku.

Matanya membulat.  "Ohya. Semoga kamu senang di sini, " katanya lagi.

"Ya aku senang,  " kataku.

"Have fun, " katanya

"Sayonara, " kataku

Dia tersenyum lagi dan menjawab "Sayonara. "

Selasa, 24 Oktober 2017

Thaniya Road, Salah Satu Kawasan Prostitusi di Kota Bangkok

Bangkok, Thailand 4 Februari 2017
Pukul 10.05 malam waktu Bangkok, angin yang kering berhembus di tengah kota, membuat warna-warni lampu seakan berkelip seperti cahaya lilin yang bertiup di depan mata. Aku menarik koper di sebelahku, menyeretnya dengan sedikit kepayahan. Aku mencoba berjalan sejajar dengan Teh Maria yang berjalan sangat cepat
“Ayo,” katanya “Aku bawa Novi ke restoran seafood terenak di kota Bangkok, mudah-mudahan masih buka."
“Teh Mar,” kataku terengah.”Teh Mar udah kebiasaan jalan sama orang Jepang ya, susah nyusulnya. Aku biasa jalan di Cianjur santai Teh Mar.” Aku terakhir meneguk minuman di bandara Soekarno Hatta sebelum check in,dan sebagai bagian resiko menaiki budget airline ,yang air putih saja harus beli, selama dua jam in-flight, lalu mendarat di bandara Don Mueang dan naik bus serta BTS sendiri untuk menemui Teh Maria yang telah menungguku, aku merasa energiku sudah cukup banyak terkuras. Bukan berarti aku ga punya uang sama sekali buat beli air minum sih. Cuman pikiranku lebih terfokus bagaimana bisa selamat sendirian memakai transportasi di negeri asing yang belum pernah aku coba sebelumnya.
Seketika itu Teh Maria berbalik sambil menahan tawa. “Maaf Novi…” dia lalu melambatkan ritme berjalannya.
Teh Maria dan aku rupanya harus kecewa, karena restoran yang dituju sudah tutup. Kita kemudian berjalan balik ke arah hotel. Jalan menuju ke hotel di daerah Silom, kita harus melewati sebuah jalan lurus dan panjang sejauh kurang lebih 500meter. Sambil jalan Teh Maria menjelaskan bahwa jalan yang sedang dilewati ini namanya Thaniya Road.
Sekilas jalan itu terlihat biasa dengan pertokoan yang berjajar di sepanjang jalannya. Lampu-lampu toko dan papan-papan billboard yang bergelantungan di antara toko-toko itu menawarkan semarak kota Bangkok pada malam hari. Ada sebuah gerobak minuman terparkir di depan salah satu toko yang menawarkan service massage. Aku dan Teh Maria menghampiri gerobak minuman itu lalu memesan minuman mangga yang kupikir terlalu banyak esnya sehingga terasa dingin sekali di tenggorokan. Kami berdua duduk di kursi kecil yang tersedia di depan gerobak penjual minuman itu.
“Vi,” bisik Teh Maria sambil menyentuh bahuku, “Coba deh kamu liat itu, mereka cewek-cewek yang berkumpul itu.”
Aku melihat ke sekeliling dan baru tersadar di sepanjang jalan banyak gadis-gadis yang berkelompok kelompok duduk di kursi. Setiap kelompok bisa terdiri dari 10-20 gadis, dan di tiap kelompok ,gadis-gadis itu memakai seragam yang sama sesuai kelompoknya. Gadis-gadis itu rata-rata memakai dress dengan rok sempit yang memperlihatkan paha, bersepatu hak tinggi, dengan dandanan glamour, tapi menurutku tidak terlihat kampungan. Di antara kelo mpok itu, ada yang seragamnya seperti baju cewek sailor berwarna biru tua, ada yang seragamnya berwarna peach dll. Mereka terlihat asyik mengobrol satu sama lain. Di tiap kelo mpok, aku melihat ada ibu-ibu/bapak-bapak yang kata Teh Maria itu mucikarinya, yang memakai seragam yang berwarna sama dengan kelompoknya.
“Mereka itu lagi jualan,vi..” bisik Teh Maria lagi. Tanpa harus menyahut aku mengerti apa yang dimaksudnya. Ternyata memang bisa bebas gini ya, tempat prostitusi di kota Bangkok. Dan orang yang lewat di sepanjang jalan itu bukan hanya kita berdua, tapi banyak warga Bangkok lain yang berlalu lalang dan seperti telah terbiasa dengan “keadaan” Tania Road yang seperti itu. Diantara mereka bahkan ada keluarga yang membawa anak kecil. Salah satunya anak perempuan berumur 5 tahuan yang membeli minuman di gerobak minum yang kita berdua lagi tongkrongin.
“Eh,” kata Teh Maria, kelihatan terkejut melihat anak perempuan itu. kupikir dia ga bakal terkejut. “Anak kecil kok dibawa ke sini sih.”
Aku tertawa kecil. “Mungkin mereka sudah biasa.”
“Yah, tetep aja,” katanya jengkel. “Keterlaluan.”
Setelah itu kita kembali ke hotel untuk beristirahat. Banyak tempat yang harus dikunjungi besoknya.
Notes:Aku sengaja tidak memoto gadis-gadis itu. Kalau foto mereka secara sembunyi dan ke “gap” nanti aku takut dikeroyok masal buuu
Job fill your pocket, Adventures fill your soul
A Diary Of A Solo Traveller