Jumat, 03 Januari 2014

Pengalaman Operasi Tumor Payudara




Aku lupa apakah aku sempat menceritakan padamu sekitar 4 tahun lalu, ketika aku masih magang di mkaa, sebelum lulus kuliah, aku menemukan sebuah benjolan di payudara kiriku. Waktu itu aku kaget banget, dan langsung mengira itu adalah kanker payudara. Tapi setelah pemeriksaan ke dokter dan mendengar cerita beberapa teman yang juga mengalami hal sama, benjolan itu kemungkinan besar bukan kanker, tapi FAM (Tumor jinak) yang biasa tumbuh karena pengaruh hormon, dan biasa diidap oleh wanita usia muda. Ciri-cirinya benjolannya mobile (bisa digerakkan dengan leluasa), dan tidak ada ciri seperti ruam atau keluar cairan darah dari puting, payudara yang melesak dan berubah tekstur dll. Payudaraku terlihat mulus mulus saja, hanya ada benjolan sebuah yang teraba.
Dokter bilang aku harus operasi pengangkatan benjolan itu. Cuman karena waktu itu orang tua ku blm punya biaya, operasi ditunda. Lalu aku menemukan terapi alternatif sengatan lebah, yang sama sekali tidak ada hasilnya. Aku kemudian mencoba alternatif lain, yang kata orangnya terapi sinar apa gitu… yang tidak berhasil juga. Lalu aku menikah, hamil dan menyusui, penyebab aku urung operasi juga karena takut mengganggu proses kehamilan dan menyusui.
Baru sebulan belakangan ini, setelah selesai menyapih anakku Edelweis (2 thn), aku (25 tahun) aktif periksa ke dokter lagi. Memang aku merasa benjolan itu tidak berubah, segitu-gitu aja, dan tak ada yang berubah di payudaraku. Tapi aku masih merasa was was dan semakin khawatir, keadaan payudaraku nanti bakal memburuk jika penyakit ini dibiarkan terlalu lama. Apa lagi aku baca-baca artikel di internet kalau tumor jinak juga bisa berubah ganas kalau dibiarkan bertahun-tahun. Meskipun aku sangat takut operasi, sepertinya aku tidak mempunyai pilihan lain, hiks.
Aku mulai searching di web tentang dokter bedah onkologi (yang khusus menangani tumor dan kanker) di Bandung. Aku menemukan beberapa nama, tapi kebanyakan praktek di rs swasta. Suamiku menyarankan untuk ke RS Hermina Sukabumi, pertimbangan karena dekat dengan tempat tinggal (aku tinggal di Cianjur). Selain itu dulu sewaktu hamil aku cek up di Hermina Pasteur, yang pelayanannya cukup memuaskan, meskipun memang agak mahal, hehe. Lupakan opsi dokter bedah di Cianjur, yang disarankan ya dokter itu-itu aja, dan aku kurang suka dengan orangnya karena jutek. Plus pamanku pernah punya pengalaman kurang memuaskan dengan dokter itu. Tidak ada pelayanan medis yang menjanjikan di Cianjur. Apalagi ini masalah pembedahan organ yang agak ‘sensitif’, jadi aku tak mau sembarangan juga.
Berangkatlah aku ke RS Hermina Sukabumi pada 17 Desember 2013. Aku bertemu dokter spesial bedah biasa (tak ada embel-embel onkologi di belakangnya). Seperti  dokter-dokter sebelumnya, dia menyarankan untuk operasi. Dokter itu mengatakan hal-hal yang mengerikan. Katanya benjolan di payudaraku itu 75% jinak tapi 25% bisa jadi ganas. Kalo ganas tindakan selanjutnya adalah pengangkatan payudara, lalu kemoterapi radioterapi dll. Cerita-cerita yang bikin aku shock banget. Setelah selesai diperiksa oleh dokter itu, aku menelepon suamiku sambil nangis-nangis ketakutan di tempat parkir, pokoknya udah ga tau malu lagi deh, hihi. Aku sangat terpukul dengan kemungkinan kanker, rasanya lebih baik mati saja daripada harus pengangkatan payudara, kemo dll yang juga memiliki banyak efek samping (rambut rontok, kulit gosong dll), Oh ya biaya operasi di Hermina biayanya sekitar 10jutaan, itu juga kelas III, dan belum termasuk visit dokter, pajak, obat-obatan dll. Aku pun mencari alternatif yang lebih murah, pilihanku jatuh ke RSUP Hasan Sadikin Bandung.
Tanggal 23 Desember aku berangkat ke bandung, kali ini suamiku bisa mengantarku pergi untuk cek ke RSHS. Seperti hal-hal yang terjadi di RS pemerintah, pasien sangat membludak, dengan antrian dan adminsitrasi yang cukup ribet. Jam 12 siang jadwal dokternya dimulai. Namanya dr. Dimyati Ahmad SpB K(onk), kali ini benar-benar dokter spesialis bedah onkologi.
Dr. Dimyati ini kelihatan cukup berumur dan berpengalaman. Dan di luar dugaan, dia ramah sekali. Untuk kesekian kalinya aku menjelaskan benjolan di payudaraku di depan seorang dokter. Dia kemudian memintaku untuk berbaring di meja periksa dengan dibantu suster.
Setelah ‘rabaan’nya dia mengangguk-ngangguk dan berkata, “Yah, FAM (tumor jinak). Jangan dipelihara ya, harus dioperasi.”
Kemudian dia tanpa aku minta menjelaskan tentang kelenjar yang ada di payudara, dan kenapa bisa ada benjolan dll yang membuat pikiranku tenang. Tapi dia tetap menambahkan, “Setelah dioperasi harus pemerikasaan patologi untuk memastikan, tapi menurut pengamatan saya benjolan itu jinak.”
Lalu dia (yang juga tanpa aku minta) menjelaskan proses pembedahannya. “Nanti sayatannya dilakukan di sekitar areola (daerah gelap sekitar putting), jadi tidak akan terlalu kelihatan bekas operasinya.”
Hal yang berbeda yang aku dengar sebelumnya dari dokter bedah di Sukabumi itu, yang mengatakan kalau benjolanku sudah sekitar 3cm, jadi harus dilakukan sayatan panjang, tidak bisa di areola yang bisa menyamarkan bekas luka. Well, syukurlah aku tidak jadi operasi dengan dokter itu dan bertemu dengan dr. Dimyati. dr. Dimyati sangat ramah dan menanamkan pikiran positif pada diriku. Menurutku kepiawaian berbicara juga penting dimiliki seorang dokter. Seberapa parah pun penyakit yang diderita pasien, alangkah lebih baik jika sang dokter bisa menyampaikan dengan cara yang positif dan tidak terkesan menakuti. Bukankah sugesti positif sangat berpengaruh pada faktor kesembuhan pasien? Plus aku tak jadi punya luka sayatan panjang bekas operasi jika aku dioperasi oleh dokter bedah Sukabumi itu, melainkan luka operasi tersamar oleh dokter Dim. Second opinion ternyata sangat berguna, ya?
“Lalu dokter kapan bisa operasi?” tanyaku.
“Mbak maunya kapan?” tanyanya balik. “Besok boleh, kalau tdak hari jum’at (tgl 27). Sekarang saya buatkan surat pengantar cek lab dan rontgen. Sekarang mbaknya daftar ke gedung... (aku lupa namanya) lt.4 untuk pendaftaran operasi. Teknis dan rincian biaya juga bisa ditanya di sana” Lalu dokter Dimyati dengan senang hati membuatkan denah lokasi menuju gedung pendaftaran operasi yang dimaksud, yang aku berterima kasih sekali karena RSHS sangat besar hingga peluang tersesat sangat besar juga.
Setelah berunding dengan suami, katanya daripada habis biaya, waktu dan tenaga lagi memang lebih baik besok langsung operasi, biar cepat tuntas semuanya. Aku pun mendaftar untuk jadwal operasi besok, dan bergegas pergi ke Pra***a Lab untuk cek lab dan rontgen, karena di sana hasilnya bisa keluar hari itu juga.
Mendengar aku mau langsung dioperasi besok, kedua orang tuaku langsung menyusul dari Cianjur ke Bandung. Kami pun menginap di sebuah hotel di kota Bandung. Paginya pukul 7.30 aku sudah siap di ruang tunggu di lt.4 karena kata ibu Siti (petugas yang megurusi pasien untuk daftar operasi) bilang kalo aku harus berada di sana paling lambat jam 8. Ternyata aku kepagian, ibu Siti nya juga belum datang, kulihat di kaca di dalam hanya ada beberapa staf medis berpakaian hijau dan bermasker. Akhirnya setelah bu Siti dan beberapa pegawai administrasi datang, aku mendaftar ulang dan menandatangani beberapa berkas, lalu menunggu untuk dipanggil
Makin siang  ruang tunggu makin penuh oleh pasien dan keluarga pasien yang entah mau apa. Yang jelas di pintu masuk memang tertera tulisan, “BEDAH MINOR DAN ENDOSKOPI”. sambil bertanya-tanya dalam hati apakah Endoskopi itu, aku terus-terusan berdo’a pada Allah SWT dimohon kelancaran. Jujur saja aku sangat takut sekali. Ini pertama kali aku operasi, bius total. Ada sedikit kekhawatiran setelah dibius aku tidak akan bangun lagi, atau operasinya mengalami kegagalan dsb, hehe.
Setelah beberapa lama nama ku pun dipanggil, aku menemui seorang staf medis perempuan berbaju hijau dan berkerudung yang ramah, yang menanyakan apakah aku alergi obat, atau punya penyakit serius dengan sistem pernafasan seperti sesak nafas dll. Aku kemudian diminta ganti baju dengan ‘baju operasi’, yah aku menyebutnya begitu karena aku tak tahu namanya apa. Warnanya hijau, bahannya agak kaku berbentuk terusan sampai ke betis dengan kedua lengan yang panjang. Penutup kepalanya berwarna hijau juga. Baju bahkan sampai dalaman harus dilepas, semua perhiasan bahkan ikat rambut harus dilepas. Aku agak ga nyaman memakai ‘baju operasi’ itu, karena itu kan bekas ratusan bahkan ribuan orang lain yang juga akan melakukan pembedahan atau entah apa. Apalagi ada beberapa noda samar entah apa yang terlihat di sana sini. Aku berbaik sangka saja bahwa baju itu telah dicuci bersih sebelumnya sebelum aku pakai.
Ketika di ruang ganti aku bertemu mbak-mbak yang sedang ganti baju operasi juga, tubuhnya terlihat kurus sekali, seperti sapu lidi.
Iseng aku bertanya, “Mau operasi juga ya?”
Mbak itu tersenyum, terlihat lemah. “Bukan, “ jawabnya. “Mau cuci darah.”
Aku hanya bisa menjawab ooohh yang panjang, sambil mengingat-nginta dalam hati penyakit apa gerangan yang harus cuci darah, sampai pada kesimpulan, mungkinkah leukemia? Glek!
Keluar dari ruang ganti aku clingukan, keluarga pasien tak boleh masuk ke dalam ruangan. Mereka harus menunggu di ruang tunggu. Sampai beberapa saat kemudian ada staf medis pria bermasker berpakaian hijau (catt: semua staf medis di sana berpakaian hijau dan bermasker  ya jadi sudah tidak perlu aku sebut lagi nanti, hihihi) bertanya padaku, “Ibu Noviana ya? Mari ke sini, ke sebelah kanan ada kasur, berbaring saja di sana,” katanya dengan ramah, dia membantuku untuk naik ke atas kasur.
Aku duduk di kasur, menunggu. Ada 4 ranjang di sana, semuanya terisi. Dua ranjang di kananku berisi ibu-ibu yang entah mau apa juga. Satu ranjang di sebelah kiri ku berisi seorang laki-laki yang berbaring diam, saat melihat tangannya yang dimasuki selang infus seperti berdarah aku memalingkan muka. Sementara ruangan sangat dingin, entah kenapa, dingiiinn sekali, sampai-sampai aku menggigil. Mungkinkah pendingin ruangan? Mungkinkah suasananya? Mungkinkah yang lain? Entah lah.
Beberapa saat kemudian staf medis laki-laki tadi datang membawa kantong infus, beberapa jarum, dan tiang infus nya. Dia ditemani lagi dengan rekannya, seorang laki-laki dan perempuan. Kuperhatikan staf-staf medis di sana rata-rata terlihat masih muda, kira-kira seumuranku, 20 tahunan atau 30. Staf medis perempuan lalu mengeluarkan jarum untuk ditusukkan ke atas telapak tangan bagian atas ku untuk memasukkan selang infusnya. Proses penusukan jarum infus ini adalah bagian yang lumayan menyakitkan bagiku. Karena staf medis perempuan itu tak juga menemukan pembuluh darah vena di tanganku. Berkali-kali jarum itu dimasukkan, terus dikeluarkan lagi, dimasukkan lagi, aku sampai menjerit-jerit kesakitan.
Karena staf medis perempuan itu tak kunjung berhasil memasukkan selang infus ke alran darahku, maka staf-staf medis yang lain datang mengarahkan, kulihat juga ada dokter-dokter yang terlihat lebih senior mendatangi dan mengarahkan dengan lebih keras, lalu menyuruhku mengepalkan tangan lalu membukanya lagi agar pembuluh vena-ku bisa terlihat.
Akhirnya setelah beberapa saat pergulatan yang menyakitkan, jarum itu masuk dengan benar di aliran darahku. Staf medis perempuan yang beberapa saat lalu 'menyiksaku' itu mendekat ke arahku, hingga aku bisa melihat kartu nama yang tergantung di bajunya, “Dokter Muda Anestesi”. Oh ya ampuuunnn pantas, jadi aku dipakai belajar ya mbak. Yah gpp semoga jadi dokter anestesi yang hebat ya. Aku sebenarnya ikhlas-ikhlas saja, yang membuat pikiranku tenang adalah, dokter-dokter paling hebat dan bepengalaman sekalipun pasti harus melalui tahap belajar dulu, seperti yang dilakukan dokter muda ini.
Seorang staf bedah perempuan berkerudung yang pertama kali menemuiku mendekatiku kembali, menanyakan kondisiku dan berkata kepadaku bahwa operasinya akan segera dimulai. Glek! Aku langsung gugup lagi. Aku pun dipapah di sisi kanan oleh dirinya. Sedangkan di sisi kiri seorang staf bedah laki-laki tadi juga memapahku sambil membawa infusanku.
Aku masuk ke kamar operasi no. 1, lalu diminta berbaring di meja operasi. Yah penampakkan kamar operasi itu tidak jauh berbeda dengan kamar operasi yang aku lihat di adegan film-film. Ada alat monitor untuk jantung yang entah apa namanya, lalu ada lampu bedah, dan beberapa alat lain yang tidak kuperhatikan. Untung aku tidak melihat berbagai peralatan operasi seperti pisau bedah, gunting dll, karena melihat hal itu aku akan semakin nervous. Aku berbaring, dan melihat lampu bedah yang tidak menyala sekitar satu meter dari mukaku. Beberapa staf bedah lain ikut memenuhi kamar, wah ternyata yang ikut operasi banyak juga ya. Dokter Dimyati juga sudah datang memakai maskernya. Aku juga melihat Dokter senior lain yang bertanya lagi padaku apa aku ada alergi obat, penyakit sesak dll, kupikir dia adalah dokter anestesinya, karena kemudian dia lah yang menyuntik obat bius ke selang infusku.
Dokter Anestesi lalu mengajakku mengobrol beberapa hal, seperti darimana asalku dll. Lalu kemudian dia memintaku berdo’a, baca al-fatihah karena operasinya dimulai sekarang. Mendengar itu aku tambah dag dig dug, sampai-sampai staf medis berkerudung bertanya, “Mbak, mbak Noviana gugup ya?” Mungkin terlihat dari monitor detak jantungnya, hihihi.
“Siap ya, biusnya saya masukkan sekarang, sedikit aja dosisnya,” kata dokter anestesi itu. Dia lalu menusukkan tabung berisi bius ke dalam selang infusku. Aku mulai merasakan tanganku yang ditempelin selang infus terasa pegal luar biasa, menandakan biusnya sudah mulai masuk aliran darahku. Aku menatap lampu bedah yang ada di atas wajahku, sambil terus berdo’a, dan mulai merasakan mataku berat. Aku mengedip, sekali. Aku mengedip lagi, dua kali. Lalu mataku terasa berat sekali, hingga aku akhirnya menutup mata, tenggelam dalam kegelapan tidur yang dalam…..
Entah berapa lama, aku tiba-tiba mendengar sebuah suara perempuan, suara seorang perawat. Rasanya seperti ditarik dari kegelapan menuju cahaya. Aku hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata. Aku tidak ingat apa yang dkatakan perawat itu, tapi aku hanya menjawab singkat, “Dingin.” Karena memang itu lah yang aku rasakan, aku menggigil kedinginan. Kurasakan perawat itu membenarkan letak selimutku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku lagi, kelopak mataku terasa berat sekali untuk membuka. Samar-samar kulihat aku telah berada di ruang pemulihan. Selang infus sudah dilepas dari tanganku. Yang ada malah selang bantu oksigen yang masuk melalui kedua lubang hidungku. Lalu kurasakan sakit di dada kiriku, tempat pembedahan tadi dilakukan.

Samar-samar kulihat Mama berdiri di samping kasurku. Mama kemudian dipanggil oleh seorang suster untuk menemui dokter Dimyati, untuk memberikan benjolan yang selama ini telah bersarang di payudaraku dan memberikan beberapa instruksi. Suamiku datang menngambil benjolan itu yang disimpan dalam sebuah tabung kaca, untuk diserahkan ke lab patologi untuk diteliti jenisnya. Sebelum pergi dia menggoyang goyangkan botol kacanya di depanku untuk menunjukkan benjolan itu. Aku yang masih lemas dan sulit membuka mata tidak bisa melihat itu dengan jelas. Aku ingin berteriak “tolong fotokan!” tapi aku terlalu lemah untuk bicara. Jadinya benjolan itu tidak terdokumentasikan.
Sejam setelahnya aku merasa baikan, dan bisa segera langsung pulang hari itu juga. Seminggu kemudian aku kontrol ke dokter Dimyati, disambut dengan keramahannya yang luar biasa, dan membuka jahitan bekas operasiku. Hasil Patalogi Analisis si benjolan juga sudah keluar. Dan Alhamdulillah Wasyukirillah Ya Rabb… hasilnya memang tumor jinak, Fibroadenoma (FAM) Mammae Sinistra, dan tidak menunjukkan tanda-tanda ganas (kanker). Tapi ukurannya luamayan sudah besar juga 4x3,5x2,5cm. jadi pilihanku untuk operasi memang sudah tepat. Kalau tidak mungkin nanti akan semakin membahayakan.
Ohya untuk sekedar informasi, biaya operasi di RS Hasan Sadikin Bandung adalah 6 juta (tahun 2013). Itu biaya operasi + cek patologi. Lumayan terjangkau, dan pelayanannya pun cukup memuaskan ko, jadi tidak rugi lah. Malah aku senang sekali lebih memilih operasi di sini daripada di sukabumi, ditangani dokter yang lebih berpengalaman dan biaya yang lebih murah. Staf-staf medisnya juga ramah-ramah. selain memang RSHS agak selalu penuh dan mungkin banyak dokter muda yang praktek, tp ya positif thinking saja lah, hehe. Kalau di rumah sakit swasta biayanya paling murah bisa 10-15 juta.
Dan, terakhir, untuk saudara-saudara perempuanku di luar sana yang mengalami penyakit yang sama yang aku alami, jangan takut untuk segera melakukan tindakan operasi jika menemukan benjolan. Lebih cepat ditangani lebih baik. Jangan tergiur dengan tawaran pengobatan alternatif yang tidak jelas juntrungannnya. Aku telah mencoba dua jenis pengobatan alternatif dan semuanya NONSENSE. Sebelum operasi jangan lupa untuk terus berdo’a diminta kesembuhan padaNya, karena penyakit dan ujian datang dariNya dan hanya dariNya lah kesembuhan datang. Insyaallah semuanya proses akan lancar. Proses penyembuhan pasca operasinya juga tidak terlalu lama. Kalau baru beberapa hari sih masih kerasa agak sakit dan kaku_jangan dulu bekerja yang berat-berat, istirahat yang cukup. Baru sekitar seminggu setelah operasi bisa beraktivitas seperti biasa.
Oh ya, kita perempuan juga WAJIB melakukan SADARI (Periksa Payudara Sendiri), kalau menemukan benjolan sekecil apa pun segera ke dokter. Makin dini sebuah penyakit ditangani makin besar harapan sembuh dan juga makin sedikit biaya yang dikeluarkan. Aku sih cuman agak beruntung aja mendiamkan sebuah benjolan selama 4 tahun. Aku tidak akan melakukan itu lagi kalau menemukan (semoga tidak) benjolan lagi.
Gud Luck, then... :)