Cianjur,
Ruang TV, 19.29 malam
Rabu,
25 Maret 2013
Alhamdiulillah, ini cerpenku yang dimuat di Majalah Chic edisi 20 Maret-3 April 2013. Sebenarnya ini cerpen pertama yang aku tulis setelah bertahun-tahun ga nulis, and cerpen pertama yang aku kirim ke mjalah Chic, ga nyangka banget bakal langsung lolos. A miracle, I'd say :)
Kau, Cinta Kembang Api
Katumbiri Noviana
Aku berdiri di sana lama
sekali, atau kupikir begitu. Menatap tempat terakhir tubuhnya yang jangkung dan
langsing menghilang. Andai saja ada
kehidupan yang lain, Lei.. Aku mengeluarkan dompet dari tasku, mengeluarkan
sebuah kartu nama dari dalamnya, kartu nama Lei. Aku menatap kartu nama itu
dalam-dalam.
Kata
Ibuku, aku akan merasakan dua jenis cinta di dalam hidup ini. Cinta yang
pertama adalah cinta yang semeriah kembang api. Sangat indah, bergemuruh dan
menggebu-gebu, tapi ketahanannya tak lebih dari beberapa detik, semuanya akan
padam, keindahan yang gemerlapan itu akan hilang ditelan gulita, menyisakan
kanvas langit malam yang kelam dan kosong. Cinta yang kedua adalah cinta yang tumbuh
dalam kesunyian. Pelan namun mengakar. Perlahan tapi pasti. Sesuatu yang lebih
hidup. Sesuatu yang alami, bertumbuh, berproses.
Sekarang
aku mengerti apa yang ibuku maksud. Aku telah merasakan keduanya.
Aku mengingatnya. Cara dia
berjalan memasuki pintu museum dengan sangat piawai. Langkahnya ringan membawa
tubuhnya yang langsing dan jangkung. Pembawaannya ramah, terlihat dari garis
wajahnya ketika tersenyum sambil mendekati meja resepsionis. Sebuah kamera SLR
menggantung di lehernya. Pertama masuk, dia langsung sibuk membidikkan kameranya
ke patung diorama penggagas Konferensi Asia Afrika 1955.
Aku
tahu, dari rambut hitamnya yang terpotong rapi, kulitnya yang putih kekuningan,
dan matanya yang sedikit sipit, dia
pasti turis dari Asia Timur. Cina daratan mungkin, atau Jepang, atau mungkin
Korea?
Dia
mengayunkan langkah dengan keanggunannya yang kokoh menuju meja resepsionis, tersenyum
menawan.
“Hi,” sapanya kepadaku. “I’m a journalist from People’s Daily,
Chinese Newspaper from China Maindland, I’m intending to write an article...”
Dia menunjukkan kartu keanggotaan jurnalistik yang menggantung di lehernya.
“Welcome to Museum of the Asian African Conference,
Sir. Would you like me to assist?” sambutku dengan keramahan yang biasa
kutunjukkan pada setiap tamu.
Dia
tersenyum. “Sure, thanks,”
“Please come with me,” kataku, memimpin
jalan untuk tur pertama ke ruang utama Gedung Merdeka.
“Jinhan
Lei,” katanya, dia menyodorkan tangannya. “Panggil saja Lei. Itu lebih singkat
dan lebih enak didengar,” katanya, masih dalam Bahasa Inggris, dia tertawa
kecil.
Ketika
itu lah aku memperhatikan sosoknya. Bukan laki laki yang semempesona itu
sebenarnya, tapi aku melihat ada yang mengesankan dari dirinya. Usianya sekitar
30 tahun. Matanya yang hitam menyorotkan kehangatan. Alisnya melengkung hitam
sempurna membingkai wajahnya, dengan tulang rahang yang kokoh. Cara dia bicara
sopan dan terpelajar. Langkahnya ringan mengayunkan tubuhnya yang jangkung dan
langsing dengan sangat piawai.
“Azalea,”
kataku, menyambut kehangatan tangannya.
“How nice to see you, Azalea,” katanya,
matanya yang hitam menatapku lekat.
“Nice to see you,” Aku menunduk, merasa ditelanjangi oleh tatapannya.
Setelah
tur singkat kami di Ruang Utama Gedung Merdeka, aku pun menjelaskan tur-tur
berikutnya. “Mari, saya tunjukkan Galeri Museum, setelah itu anda mungkin mau
menonton film dokumenter tentang KAA 1955?”
Dia
mengacungkan jempol tanda setuju, sambil terus memotret ruang utama Gedung
Merdeka.
Setelah
selesai memandunya ke ruang galeri museum, aku mengantarnya ke ruang pemutaran
pemutaran film. Lei melangkah masuk dan duduk di kursi baris paling depan,
menunggu.
Aku
menekan tombol play. TV berkedip dan
mulai menampilkan filmnya, sebuah film hitam putih, sementara musik latar
videonya mengalun lembut, sebuah lagu berjudul Unforgettable yang dipopulerkan oleh Nat King Cole. Unforgettable, that's what you are. Unforgettable
though near or far. Like a song of love that clings to me. How the thought of
you does things to me. Never before has someone been more...
Aku
duduk dua kursi dari tempat Lei duduk. Ruangan digelapkan sementara film
diputar. Aku lihat Lei tidak terlalu terlalu tertarik menonton filmnya, dia
malah membalikkan badan kepadaku dan mengajakku mengobrol hal yang lain.
“Anda
menikmati pekerjaan sebagai jurnalis?” tanyaku. “Sudah berapa lama di
Indonesia?”
“Tentu
saja,” katanya terdengar bahagia. “Aku sudah ditempatkan di sini sekitar dua
tahun, di Jakarta.”
“Walaupun
harus meninggalkan keluarga di sana? Cina bagian mana asal anda?”
“Guangzhou,”
jawabnya. “Resiko pekerjaan.”
Pikiran
ini sudah menggangguku sejak lama, dan masih menimbang apakah cukup sopan untuk
menanyakan langsung kepadanya, tapi kata-kataku selanjutnya meluncur begitu
saja tanpa bisa kutahan, “Keluarga anda... apa anda sudah menikah?”
Dia
tertegun mendengar pertanyaanku, terdiam beberapa saat, pikirannya seperti
sedang bergumul dengan sesuatu, lalu menjawab, “Ya, aku sudah menikah.” Dia terdengar
berharap bisa mengeluarkan kata-kata lain, tapi tetap tersenyum sambil
menatapku.
Aku
menelan ludah. “Jadi, anda pasti sangat merindukan mereka kan? Istri dan.. anak
anda...?”
Dia
menunduk. ”Ya,” jawabnya. Film terus berputar tanpa dipedulikan siapa pun.
“Kalian
punya berapa anak? Berapa umur anak anda?” tanyaku tak sabar.
“Baru
satu, baru dua bulan.” Dia menatapku lagi. “Bagaimana denganmu?” tanyanya.
Aku
tertawa, dan menggeleng.
“Tapi
kamu punya pacar?” tanyanya kemudian, dengan suara ketidaksabaran yang sama
sepertiku tadi. “Kamu pasti punya. Gadis secantik dan sepintar dirimu...”
“Oh...
stop,” kataku, tertawa. “Ya, aku
punya.”
“Baiklah,”
katanya lagi, dia kembali menatap televisi, yang aku yakin tak dia tonton
benar-benar.
Tepat
ketika film berakhir dan aku kembali menyalakan lampu Lei berkata, “Azalea,
boleh aku minta no hp mu?”
Tanpa
berpikir lagi aku berkata, “Tentu.” Aku menyebutkan no hpku, sementara dia
mencatat di hpnya. Dia kemudian mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetnya
dan memberikannya kepadaku.
“Thanks,”
kataku, memasukkan kartu namanya ke saku jasku. Aku pun mengantarnya sampai ke
pintu gerbang keluar museum. Kami berpisah dengan sedikit tidak rela. Rasanya waktu
terlalu singkat untuk kami.
Ketika istirahat makan siang tiba,
hpku berbunyi tanda sms masuk. Hatiku melambung tinggi ketika membaca isinya: Aku akan terbang ke Jakarta sore ini. Mau kah
kamu makan siang bersamaku sebelum aku pergi? Lei.
Aku terpekur sementara
Shemali membereskan kertas kerjanya. Sore itu aku pulang cepat dari museum,
sehingga aku bisa mendatangi kantornya. Biasanya dia yang menjemputku pulang.
Aku sebagai kekasihnya patut bangga, di usia menjelang 29 Shemali mampu
menduduki jabatan sebagai Chief Editor di
sebuah Publishing House ternama, meskipun
dia sering bilang bahwa bekerja seperti kuda pacu seperti ini bukanlah passion-nya yang sebenarnya. Shemali
gemar hiking, dia telah menaklukan
sebagian besar gunung di Jawa. Ambisi terbesarnya adalah menaklukan
Kilimanjaro.
Petualangan
telah membuat tubuhnya tegap dan kokoh. Kulitnya coklat keemasan terbakar
matahari. Matanya tajam seperti elang. Dia berjalan dengan keanggunan macan,
yang seringkali membuat perempuan menoleh dua kali. Tapi Shemali sepertinya
tidak pernah kelihatan peduli, dia laki-laki pendiam. Dia jarang sekali
mengucapkan kata I love you kepadaku,
apalagi kata-kata mesra, meskipun kami telah dua tahun pacaran. Tapi dia selalu
ada ketika aku membutuhkan, seperti mengantar jemput aku setiap hari, meskipun
dia pernah harus mengorbankan meeting
dengan klien penting dan dimarahi habis-habisan oleh atasannya. Setidaknya
tindakan-tindakannya itu lah yang meyakinkanku bahwa dia mencintaiku, yang kini
dengan kejam telah kukhianati.
Aku
merasa sangat bersalah pada Shemali, aku mencintainya, tapi sekarang sepertinya
mataku telah buta oleh sosok Lei. Aku jadi mengerti perasaan
perempuan-perempuan itu. Setiap perempuan tak ada yang mau dijadikan istri kedua atau istri simpanan. Semua itu
merugikan dan menyakitkan. Tapi anehnya perempuan yang jadi istri kedua banyak.
Waktu aku melihat Lei, aku tak melihat istrinya, tak melihat anaknya, tak
melihat Shemali. Di dunia ini seakan aku tidak
melihat yang lain, aku hanya melihatnya, dan yang aku ingin hanya bersamanya.
Kulihat
Shemali beranjak berdiri dari kursinya, menggeliat sedikit. Dia memandangku. “Nunggu lama ya?” katanya sambil
tersenyum.
Aku
balas tersenyum. “Nggak kok.”
Tiba-tiba
hpku bergetar, aku menatap layar dan menemukan nama Lei yang belakangan sering
muncul di hpku. Tubuhku mengejang, aku berpikir cepat untuk mencari alasan.
“Dari
museum, aku angkat dulu ya,” aku berusaha menyembunyikan kegugupanku.
Shemali
menatapku dengan tatapan elangnya, tajam dan menusuk. “Oke,” jawabnya datar.
Aku
bergegas keluar menuju kamar mandi perempuan. Setelah kupikir aman aku menekan
tombol hijau.
“Lea,
are u okay?” kata Lei diujung telepon.
“Ya, Lei. Ada apa?”
Hanya
ada kesunyian, kemudian Lei menjawab, suaranya muram, “Ada kabar buruk.”
Aku
tertegun, tapi berusaha tetap tenang. “Ada apa?.”
“Aku
harus kembali ke Cina, sabtu sekarang,” jawabnya pelan.
“Oh,”
kataku, merasa agak lega, ternyata bukan yang kutakutkan. “Lalu kapan kembali
ke Indonesia?”
“Aku
tak akan kembali lagi, Lea..” Lei berbisik, kudengar suaranya agak bergetar.
Aku
tertegun.
Lei
melanjutkan, setelah aku tidak merespon. “Tadi pagi atasanku dari Cina
menelepon, penugasanku di Indonesia sudah berakhir, aku diminta untuk kembali
secepatnya ke Cina. Aku pikir penugasanku masih satu tahun lagi, tapi ternyata
atasanku berubah pikiran, aku dibutuhkan di Cina secepatnya.”
“Lei...”
bisikku dengan suara tercekat.
“Aku
punya permintaan terakhir..” suaranya lirih. “Maukah kamu ke Jakarta sabtu ini
sebelum aku terbang ke Cina? Aku ingin bertemu denganmu, untuk terakhir
kalinya,” kata Lei, kemudian dengan nada memohon, “please...could you?”
“Sure, Lei...” jawabku, menahan diri agar
tangisku tidak meledak. “Why Couldn’t I?”
“Thank you, Azalea..” jawab Lei,
terdengar sangat lega. “See you, then.”
Aku menutup telepon. Kurasakan mataku panas
dan berair.
Aku berjalan cepat menuju
pintu masuk Bandara Soekarno-Hatta. Suasana bandara selalu ramai seperti biasa,
termasuk hari ini. Ini alibiku untuk meyakinkan Shemali bahwa aku ke Jakarta
untuk mengunjungi Rista, sepupuku yang tinggal di Jakarta. Memang aku akan
mengunjunginya, selain sebenarnya ke bandara ini lah tujuan utamaku. White Lie. Aku merasa setengah geli,
setengah bersalah. Shemaliku yang baik dengan tanpa curiga mengiyakan, hanya
menitip pesan untuk berhati-hati dan menitip salam untuk Rista.
Aku
berjalan menuju terminal 2D, mencari-cari diantara orang-orang yang akan menuju
boarding lounge. Lalu mataku terpaku
ke sana, ke sosok itu. Dia masih laki-laki bertubuh jangkung yang bergerak
dengan begitu luwes. Mengesankan. Hangat.
“Lei!”
panggilku, beberapa orang di dekatku menoleh kepadaku. “Di sini!”
Lei
menoleh. Matanya berbinar saat melihatku. Dia keluar antrian dengan cepat, menyeret
kopernya bersamanya.
“Kupikir
kamu tidak akan datang,” katanya terdengar lega. Sorot matanya yang hangat
membanjiriku.
Aku
menatapnya, yang mungkin takkan bisa kutatap lagi. Kutelusuri raut wajahnya
yang mengesankan; alisnya yang hitam membingkai wajahnya dengan sempurna, tulang
rahangnya yang kokoh..
“Jadi kapan pesawatmu take off?” tanyaku.
“Sejaman
lagi,” jawabnya, sambil mengecek jamnya.
“Oh...” kataku. “Baiklah, sebaiknya kamu
cepat...” Aku tak berhasil meneruskan kalimatku, karena kaget ketika dia
tiba-tiba meraih kedua tanganku dan menggenggamnya.
“Azalea...” bisiknya lembut. “Andai saja aku
belum menikah, bersamamu adalah impianku yang paling tinggi. Aku mengutuk Tuhan
karena Dia mempertemukanku setelah semua ini, setelah segalanya terlambat...”
dia memandang ke atas dengan keresahan dan kesedihan yang tercampur-aduk.
“Tidak,”
aku menggeleng sedih. “Meskipun begitu, aku sangat berterima kasih pada Tuhan,
karena Dia memberiku kesempatan untuk mengenalmu, sekali kesempatan untuk
bertemu denganmu... itu sudah sangat membahagiakanku, Lei...”
Dia
menatapku lekat, matanya berbinar, menyorotkan kebahagiaan dan kesedihan
sekaligus. “Apa kamu percaya reinkarnasi, Azaela? Dalam kepercayaanku aku
mengenal reinkarnasi, dimana satu “jiva” dapat mengalami ratusan kali kelahiran
dan kematian, melakukan perbaikan di masa kehidupan selanjutnya di kehidupan
yang lain, tubuh yang lain, hingga ia menjadi sempurna dan dapat bersatu dengan
penciptanya—“Nirvana”. Andai saja ada hidup yang lain ini, aku ingin di
kehidupan mendatang aku bisa bersatu denganmu...”
“Aku...”
“Dengar,”
katanya. “Apa kamu masih menyimpan kartu namaku?”
Aku
memandangnya penuh tanya, dan mengangguk.
“Di
sana ada alamat e-mail-ku.” Katanya. “Please, e-mail aku agar aku yakin kamu benar-benar menginginkanku, dan aku
akan kembali lagi ke sini, ke Indonesia, untuk bersamamu. Aku akan mencari
cara, bagaimanapun, untuk kembali padamu...”
“Lei,
aku..” Tapi aku tak bisa meneruskan kata-kataku, aku hanya mengangguk kaku
seperti robot.
Lei
tersenyum dengan kehangatan yang meluluhkan hati, seperti cahaya mentari pagi
yang melelehkan kebekuan subuh, menerbangkan uap-uap embun, mengusir
kabut-kabut di penghujung malam.
“Kurasa
aku harus pergi sekarang,” katanya, dia mengangkat dan mendorong kopernya. “You take care...” katanya, meremas
tanganku.
Aku
mengambil satu langkah ke depan, mendadak tidak ingin melepaskannya. Dadaku
bergerumuh oleh duka yang tak jelas. “Lei..” bisikku.
Dia
tersenyum. “I’ll be back. Email me.”
Dia mencium tanganku. “I love you...”
Aku
hanya bisa menatapnya, tak ingin kehilangan sedetik pun momen dalam menangkap
setiap gerakan halus yang dia lakukan sebelum pergi. Dia mulai mendorong
kopernya ke depan, menatapku sekali lagi, tersenyum, dan berjalan ke arah
antrian, sebelum menghilang ke arah boarding
lounge.
Kartu
nama Lei. Aku menatap kartu nama itu dalam-dalam.
“Lei, I’m sorry...” bisikku kemudian. Aku
menghela nafas berat, lalu menyobek kartu nama itu.
Melakukan
itu seperti merobek hatiku jadi dua, menghilangkan satu-satunya kesempatan
untuk pernah berhubungan dengannya lagi. Tapi ini keputusanku. Aku sadar, aku
tak bisa berbahagia sementara ada hati perempuan lain yang terluka. Tidak
sementara ada anak tak berdosa yang membutuhkan kasih sayang ayahnya. Hak yang
mungkin akan aku rampas dari mereka.
Bagi
Lei dan istrinya aku hanyalah godaan, perempuan jahat yang mengganggu dan
menghancurkan. Dan bagiku, perasaanku kepada Lei hanya hasrat sesaat saja.
Cinta yang seperti pernah ibuku bilang semeriah kembang api, hanya indah dalam
sekerjapan mata. Sementara bersama Shemali aku belajar tentang cinta yang
tumbuh dalam kesunyian. Sesuatu yang alami, bertumbuh, berproses.
Dengan tubuh terguncang aku meninggalkan
bandara, pikiranku melayang pada momen pertama kali aku bertemu dengan Lei,
momen indah yang takkan pernah bisa tergantikan. Aku membekukan kenanganku di
sana. Di saat itu. Dan bertahan di sana sampai entah kapan, ketika aku dan Lei
duduk bersisian di ruang pemutaran film museum yang temaram. Saling menatap.
Sementara film diputar, musik lembut mengalun darinya, kata-katanya menyihir
kami berdua.. Unforgettable in every way.
And forever more that’s how you’ll stay.
That’s why darling, it’s incridible, that
someone so unforgettable. Thinks that
i am unforgettable too..