Rabu, 30 Januari 2013

Kepingan Jiwa yang Hilang



Cianjur, Ruang TV, 21:14
Rabu, 30 jan 2013


Mydear... Aku sore ini sedikit terguncang. Naskah-naskah tulisanku yang dulu, dari masa aku SMP sampai SMA hilang tak tau rimbanya. Aku sudah cari di mana mana, di lemari ini dan itu, di segala sudut rumah. Tapi aku tak menemukan kumpulan kertas-kertas dan buku-buku itu! Tulisan-tulisan yang dulu-dulu itu aku ketik di kertas A4 dengan mesin ketik kuno yang masih bersuara ‘tak tik tuk’ yang tombol-tombolnya dibuat dari besi (membuat jemarimu pasti sakit setelah mengetik selama beberapa jam) serta berisik ketika digunakan, tintanya pakai pita kertas yang bikin kotor. Sebagian naskah tulisan yang lain aku tulis tangan di buku-buku bekas pelajaran sekolahku. Maklum pada waktu itu komputer dengan microsoft ato linuxnya belum seumum sekarang, jadi dengan gaya seperti itu lah aku membekukan pikiran-pikiranku ke dalam tulisan.

Perasaanku tak terkatakan, mydear... aku marah, sakit, sedih, bingung, kalap dan aku ingin menjerit keras-keras seperti orang gila tapi aku tak bisa. Terdapat puluhan cerpen, puisi atau bahkan artikel-artikel kecilku tentang kritik dan kehidupan terbungkus di sana, banyak sekali. Semua itu merupakan kenangan dari masa kecilku yang manis, tulisan-tulisanku yang sederhana. Di sana bahkan ada novel pertamaku, yang ceritanya mirip-mirip harry potter, karena waktu itu aku sangat tergila-gila dengan harry potter. Nah... selama aku menulis ini aku mulai ingat judul-judul naskah-naskahnya, dan itu membuatku semakin dirundung duka... memang kalo dipikir-pikir sekarang tulisanku itu mungkin picisan semua, atau mungkin memang ada yang bagus dan bermakna. Tapi dari sanalah aku dan orang-orang yang mau membacanya, melihat proses perjalanan hidup kepenulisanku (gayanya seperti udah jadi penulis terkenal aja, hihi).

Aku juga pernah kehilangan yang mirip seperti ini, ketika kuliah dulu aku tak sengaja menghapus folder berisi novel keduaku yang ceritanya bergaya percintaan teenlit (remaja). Dan kecerobohan terulang lagi sekarang, bahkan lebih parah! Yang aku ingat kumpulan naskah itu selalu berdampingan dengan tas biru tempatku menyimpan tumpukan diari-diariku. Nah kalo tas biru itu ada, kumpulan naskahku itu hilang tak tau rimbanya. Aku tanya ke mamah katanya dia ga buang-buang yang seperti itu. Dulu pernah beres2 ngebuangin koran2 yang menumpuk juga kan ada aku, dan selalu dengan persetujuan aku, mana yang mau disimpan dan mana yang mau dibuang. Aku pernah membuka-buka lagi dan membaca-baca naskah itu sih, dan kurasa aku melakukan itu setelah ada Edelweis. Dan kupikir juga ga mungkin mamah ato orang di rumah ini membuang kumpulan tulisan-tulisan itu, yang bentuknya besar, berat dan tidak seperti sampah sama sekali. Bukan hal yang mudah untuk melemparnya ke jalan begitu saja karena beratnya. Aku pikir mungkin belum ketemu saja, (yang memang barang itu kalo lagi sengaja dicari-cari suka ga ada, lalu muncul lagi nanti setelah kita tidak sedang mencari-carinya lagi). Tuhan... aku sangat berharap mungkin naskah-naskah itu masih ada di suatu tempat di rumah ini... aku sangat berharap...SEKALI....

Naskah-naskah itu, mydear... adalah kepingan-kepingan jiwaku. Mereka adalah ruh yang kubagi dari aku yang tunggal. Dan kehilangannya membuatku seperti jadi timpang, jadi setengah, bukan aku yang utuh. Aku jadi ingat, dalam cerita Harry Potter karya JK Rowling itu, si antagonis Voldemort membagi jiwanya menjadi tujuh bagian untuk menjadi tak terkalahkan. Yah aku kompleksnya seperti itu, tapi bukan untuk menjadi tak terkalahkan. Kau tau, sederhananya seperti ini, ketika aku menuangkan pemikiranku ke dalam tulisan-tulisanku, aku seperti menyimpan diriku pada bentuk yang lain, aku membagi-bagi rohku ke dalam bentuk tulisan-tulisanku. Jadi mereka itu adalah perwakilan dari roh ku yang tunggal. Mereka adalah roh-rohku dalam bentuk yang kecil, dalam bentuk sebagian-sebagian yang satu di antara lainnya berbeda.

Aku berharap aku menemukan mereka kembali, mydear... Tuhan,, aku BENAR- SANGAT BERHARAP.

Bytheway, mydear... rasanya aneh menemukanmu dalam bentuk ‘e’. Maksudnya dalam bentuk e-lektronik. Biasanya kau dalam bentuk buku diary (yang BENAR-BENAR buku diary). Tapi kupikir sekarang sudah tak praktis lagi menulis di buku diary macam itu. Diaryku sudah menumpuk, dan aku tak ingin mengambil resiko tumpukan yang semakin menggunung, disamping kau lebih rentan kena si kutu buku (yang BENAR-BENAR seranggga kutu buku), kau bisa kebasahan, terbakar, dan yang seperti yang sedang kualami sekarang, kehilangan. Lagian belakangan ini tulisanku semakin seperti cakar ayam, jadi sulit untuk dibaca, dan sangat tidak rapih, hoho. Bentuk file seperti ini juga beresiko kena virus atau terhapus sih, seperti kejadian novel teenlit-ku itu. Aku akan mencari cara agar bisa membuat back-up nya. Oya, kamu juga akan aku posting di blogku (berbanggalah kau akan di post di website yang bisa dibaca siapa saja!) www.katumbirinoviana.blogspot.com . ga semuanya sih dari kamu bakal aku posting, yang menurutku pantas dibuka ke ruang publik saja. Kan ada banyak rahasia-rahasia yang hanya kita berdua tahu, maydear... hal-hal yang kupikir terlalu privat untuk di-share ke banyak orang. Atau ketika aku mengumpat ke orang-orang, mungkin aku tak ingin orang itu tau kalo aku mengumpatinya dengan seperti itu, hehehe.

Selasa, 29 Januari 2013

Di Balik Nama Pena: Katumbiri Noviana


Kamar Depan, 22:39
Selasa, 29 Jan 2013


Katumbiri berarti pelangi, yang menurutku merupakan bahasa Sunda yang indah. Katumbiri mengingatkanku pada masa kanakku yang jauh, dan indah, di Palembang sana, ketika pada sore hari yang cerah langit berkomposisi antara biru, lembayung, dan hitam abu-abu seusai hujan. Aku sedang bermain di rerumput bersama teman-teman sebayaku, berlarian riang seusai hujan dalam cahaya keemasan mentari yang menyinari titik-titik air peraduan sisa hujan bersama dedaun. Kami berputar bak di negeri dongeng, mendendangkan khayangan, menatap langit, yang kemudian secara ajaib terlukis sebuah lengkung-lengkung mejikuhibiniu yang menakjubkan. Keindahannya tak tertahankan, lengkungan lembut warna-warni seperti dilukiskan ke atas kanvas membeledu biru. Warna-warnanya tegas dan anggun. Melengkung di cakrawala langit seperti sebuah jembatan indah yang dilukiskan Tuhan untuk menuju dunia yang lain, dunia khayangan yang sedang kami dendangkan. Kenangan  itu sudah berlalu selama 18an tahun, tapi tetap terpampang jelas di dalam memoriku seperti kejadiannya baru sekerjapan mata. Untuk itu lah aku ingin menjadi seperti pelangi, katumbiri. Karena setelah badai air yang guruh gemuruh menyerbu ke bumi, selalu ada cahaya mentari, dan terkadang katumbiri yang dilukiskan di atas horizon. Menatapnya seperti menemukan sebuah jembatan yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia khayangan. Bersama hal-hal yang indah yang tak terbayangkan, membuatku tersadar bahwa hidup ini berharga dan indah. Hal yang membuatku tidak takut akan keputusasaan, kesedihan dan kesendirian.  Karena  selalu ada mentari setelah badai, terang setelah gelap, hangat setelah gigil. Dan karena selepas hujan, ada pelangi (Katumbiri) sebuah jembatan menuju mimpi.


Catatan: gambar diambil dari http://nur98hanan.files.wordpress.com/2010/06/rainbow_full.jpg?w=640 (1/2/13)

Prolog: Sebuah A



Prolog: Sebuah ‘A’

Kamar K, 09.35 malam
7 Januari 2009
Dicopy paste dengan sedikit editan di sana sini pada 22:11 malam
Kamar depan, 27 Jan 2013

Aku hanya tak bisa mencairkan seluruh energiku pada segala. Perasaan yang terbendung dan termampatkan dalam kubangan air mata di kantung mataku, atau gelak tawa yang tak kulepaskan pada dunia. Karena aku bukan orang yang pandai berkoar dengan bibir. Aku adalah ketenangan di rindang sana. Bisikan halus angin yang membelai dedaunan di sore hari. Aku bukan nuri yang berkicau memerdukan udara, tapi gemericik air yang mengalir memahkotai bebatuan. Aku adalah jingga lembayung, bukan kemuning siang.
Karena itu aku memilih untuk meluncurkan seluruh kata-kataku dalam tulisan. Ribuan frasa yang apabila tak kukeluarkan akan membuatku gila. Ide-ide liar yang berdesakan dalam kepalaku, benakku, jiwaku, atau bahkan denyut nadiku.
Inilah kesejatian pengungkapan.
Inilah nafas itu. Hidup itu sendiri.
Inilah pilihan mutlakku.
Untuk membekukan setiap momen-momen hidupku dalam kata-kata. Merangkainya dalam frasa. Menghiasinya dalam metafor dan kelindanan makna. Bukankah tulisan merupakan bukti bahwa aku pernah ada? Bahwa aku pernah berputar dalam roda waktu, menyusuri musim dan berbagi cahaya dengan udara? Bahwa aku adalah manusia yang pernah menapak tilas dalam debu di bumi ini?
Sekian lama… sudah…
Aku kembali mengakrabi ini. Aku kembali mengguratkan jejak-jejak kehidupanku. Aku kembali berkelekar dengan sahabatku yang paling setia, pena dan kertas. Aku selalu rindu, akan selalu rindu pada yang satu ini. Ketika aku tak paham tentang kehidupan, ketika aku tak mengerti tentang takdir itu sendiri. Ketika aku mumet dengan pertanyaan-pertanyaan yang bercokol dalam dadaku, aku akan selalu rindu untuk menggelarkan paras-parasnya menjadi frasa-frasa, lalu kugabungkan satu per satu menjadi sebuah keutuhan paragraf, kemudian kubiarkan paragraf itu beranak-pinak hingga pada akhirnya membentuk penjabaran sebuah tema secara holistik dan komprehensif.
Aku tak pernah habis memikirkan tentang hidup ini. Ketika kesemuanya jadi sesuatu yang rumit sekaligus sederhana, aneh atau pun biasa, penuh rahasia atau pun telanjang. Lalu  inilah sebuah media kehidupan tempat aku mempertanyakan semuanya, mengajukan pendapat atau sanggahan terhadap hal-hal yang kuamini atau pun tak kusetujui dalam fenomena hidup yang kudapat dalam keseharianku. Inilah caraku mengasingkan diri dari dunia, atau pun mendekatkan diri pada lengan-lengan takdirnya.