Cianjur, Ruang TV, 19.10 malam
Kamis, 21 Februari 2013
Mydear,, tadi siang aku baca sebuah cerpen karya
legendaris cerpenis Amerika, Ernest Hemingway yang berjudul (terjemahan bahasa
Indonesianya sih) “Obrolan Siang Bolong”. Membaca karyanya membuat wawasan baru
untukku. Setelah membaca cerpen itu, alih-alih mendapat pencerahan, atau
kejutan seprti yang biasa aku temukan dalam cerpen-cerpen “biasa”, aku malah
mendapat serangkaian pertanyaan yang tak terjawab, bahkan sampai kalimat
terakhir aku menemukan sesuatu yang tak selesai, sesuatu yang membuatku
menebak-nebak, sesuatu yang sengaja tak disampaikan oleh pengarangnya. Selesai
membacanya aku malah terhenyak, tidak menyangka akan disuguhi dengan akhir
seperti itu, dan bikin aku sedikit ‘pusing’. Tapi kupikir karyanya luar biasa.
Ini yang katanya teknik “the top of the iceberg”, sebuah teknik ketika pengarang
hanya menyampaikan seperdelapannya saja dari pesan dan inti cerita yang
dikandung, selebihnya diserahkan kepada pembaca, membuat pembaca mempunyai
kesempatan iterpretasi yang lebih luas.
Membaca karya Hemingway membuatku sampai heran ko ada
manusia yang bisa sejenius itu dalam menulis. Dan yang membuatku LEBIH heran
lagi, aku tak pernah (atau tak ingat?) pernah membaca satu pun karya Hemingway,
atau SATU pun yang dijadikan bahasan diskusi di kelas Sastra Inggris oleh
dosen, SELAMA 4 tahun kuliah! Mon Die...!
kemana saja aku selama ini?? Kayaknya aku terlalu sibuk melamun dan mabal
dibanding menikmati kesempatan-kesempatan emasku untuk mendalami karya-karya
sastra tersohor. Itu lah sebabnya teknik menulisku masih seperti teknik menulis
anak sma. Apalagi membaca karya Hemingway, dibandingkan dengan itu
tulisan-tulisanku seperti tulisan cakar ayam yang cetek dan remeh temeh. Aku
akan mencari karya-karya Hemingway lain dalam versi bahasa aslinya untuk
kuapresiasi, tentu saja.
Aku mendapat cerpen ini dari situs ini (yang sudah
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia,, oleh Maggie Tiojakin,mungkin? Ga ada
catatan siapa penerjemahnya soalnya)
Ernest Hemingway – Obrolan Siang Bolong
Bukit-bukit di seberang lembah Sungai Ebro tampak putih
memanjang. Di sisi ini tidak ada pepohonan rindang ataupun tempat berteduh
alami. Sebuah stasiun kereta duduk terhimpit di antara dua pasang rel besi yang
berkilauan di tengah gempuran cahaya matahari siang. Sementara itu, di sebelah
stasiun kereta terlihat sebuah bar kecil dengan pintu terbuka lebar; serta
selembar tirai manik bambu yang menggantung di ambang pintu guna mengusir lalat
yang beterbangan.
Seorang pemuda asal Amerika dan seorang gadis duduk di
salah satu meja yang berada di luar stasiun. Hari itu sangat panas dan kereta
ekspres dari Barcelona baru akan tiba dalam waktu empat puluh menit ke depan.
Kereta tersebut hanya akan berhenti di stasiun ini selama dua menit sebelum
melanjutkan perjalanannya ke Madrid.
“Mau minum apa?” tanya si gadis. Dia telah melepas
topinya dan meletakkannya di atas meja.
“Apa saja yang enak diminum dalam cuaca panas seperti
ini,” kata si pemuda.
“Kalau gitu kita pesan bir.”
“Dos cervezas,” ujar si pemuda sambil menoleh ke arah
tirai yang terbuat dari manik bambu.
“Dalam gelas besar?” tanya seorang pelayan wanita dari
ambang pintu bar.
“Ya. Dua gelas besar.”
Pelayan itu membawakan dua gelas besar bir serta sepasang
tatakan gelas. Ia meletakkan kedua gelas di atas tatakan sambil menatap ke arah
sepasang kekasih tersebut. Si gadis tengah mengamati kontur perbukitan yang
memanjang. Undakkan itu tampak putih di bawah sinar matahari dan daerah di
sekitarnya terlihat gersang kecokelatan.
“Bukit-bukit itu bentuknya seperti segerombol gajah
putih,” kata si gadis.
“Aku belum pernah melihat bentuk gajah putih.” Si pemuda
meneguk bir dari dalam gelas.
“Tentu saja kau belum pernah melihatnya.”
“Tapi aku mungkin pernah melihatnya,” dalih si pemuda.
“Tuduhanmu tidak membuktikan apa-apa.”
Gadis itu kini mengalihkan perhatiannya ke arah tirai
manik bambu. “Mereka menuliskan sesuatu di permukaan manik-manik itu,” kata si
gadis. “Apa yang mereka tulis?”
“Anis del Toro. Jenis minuman.”
“Boleh dicoba?”
Pemuda itu memanggil pelayan tadi lewat tirai yang sama.
Pelayan tersebut melangkah keluar dari bar dan menghampiri pelanggannya.
“Empat real.”
“Dia mau memesan dua Anis del Toro.”
“Dengan air putih?”
“Kau mau menambahkan air putih?”
“Entahlah,” kata si gadis. “Apa masih enak kalau ditambah
air?”
“Biasa saja.”
“Jadi tambah air atau tidak?” tanya si pelayan.
“Ya, ditambah air.”
“Rasanya seperti licorice,” ujar si gadis, meletakkan
gelas minumannya di atas meja.
“Semua minuman rasanya seperti itu.”
“Ya,” kata si gadis. “Semua minuman rasanya seperti
licorice. Terutama semua minuman yang sulit dicari, seperti absinthe.”
“Sudahlah. Jangan dibicarakan.”
“Kau yang memulai,” gerutu si gadis. “Aku cuma bercanda.
Aku menikmati minumanku.”
“Baiklah, kalau begitu jangan memicu pertengkaran.”
“Oke. Aku hanya ingin mencoba mencairkan suasana. Tadi
aku bilang bukit-bukit itu tampak seperti segerombol gajah putih. Bukankah itu
observasi yang cerdas?”
“Observasimu cerdas.”
“Lantas aku ingin mencoba minuman baru. Hanya itu yang
kita lakukan selama ini,kan—menikmati berbagai hal sambil mencoba minuman
baru?”
“Kurasa begitu.”
Gadis itu kembali memandangi deretan bukit-bukit putih.
“Bukit-bukit itu tampak indah,” kata si gadis. “Mereka
tidak benar-benar tampak seperti segerombol gajah putih. Aku hanya bermaksud
membandingkan warna bukit dengan warna kulit gajah putih.”
“Mau pesan minuman lagi?”
“Boleh.”
Angin hangat berembus lembut dan membuat tirai manik
bambu itu bergoyang hingga menyentuh pinggiran meja.
“Bir ini terasa enak dan dingin,” kata si pemuda.
“Teman yang pas siang ini,” sambut si gadis.
“Operasi itu sangat sederhana, Jig,” ujar si pemuda.
“Hanya prosedur kecil, bahkan tidak masuk ke dalam kategori operasi.”
Si gadis menunduk dan mengamati lantai di bawah kaki
meja.
“Aku tahu kau takkan keberatan melakukannya, Jig.
Benar-benar bukan hal besar, kok. Mereka hanya akan memasukkan udara ke
dalamnya.”
Gadis itu tidak merespon perkataan pemuda di hadapannya.
“Aku akan pergi bersamamu dan selalu mendampingimu.
Mereka hanya akan memasukkan udara ke dalamnya dan semuanya akan tampak alami.”
“Lantas apa yang akan kita lakukan setelah itu?”
“Setelah itu hubungan kita akan kembali seperti
sebelumnya.”
“Apa yang membuatmu begitu yakin?”
“Karena hal itu satu-satunya yang mengganggu hubungan
kita, yang membuat kita tidak bahagia.”
Gadis itu menoleh ke arah manik bambu yang tersemat pada
tirai di ambang pintu, mengulurkan tangannya dan menggenggam dua manik bambu.
“Kalau begitu menurutmu kita akan bahagia setelah itu.”
“Aku yakin sekali. Kau tidak perlu takut. Aku kenal
banyak orang yang pernah melakukannya.”
“Aku juga kenal banyak orang yang pernah melakukannya,”
ujar si gadis. “Dan setelah itu mereka tampak sangat bahagia.”
“Well,” kata si pemuda. “Kalau kau enggan melakukannya,
maka jangan dilakukan. Aku tidak akan memaksamu. Tapi menurutku prosedurnya
sangat sederhana.”
“Dan kau sangat menginginkan aku untuk melakukannya?”
“Kurasa itu yang terbaik. Tapi jangan lakukan kalau kau
tidak ingin melakukannya.”
“Jika aku melakukannya, maka semua akan kembali seperti
dulu dan kau akan kembali mencintaiku?”
“Sekarang pun aku mencintaimu. Kau tahu itu.”
“Aku tahu. Tapi kalau aku melakukannya, maka hubungan
kita akan kembali harmonis; dan jika aku mengatakan ada beberapa hal di dunia
ini yang mirip dengan segerombol gajah putih, kau takkan marah?”
“Aku justru akan mendukungmu. Sekarang pun aku
mendukungmu, tapi aku sedang tidak bisa berpikir jernih. Kau tahu sendiri
bagaimana sikapku jika sedang resah.”
“Kalau aku melakukannya kau takkan pernah merasa resah
lagi?”
“Aku bukan resah karena apa yang akan kau lakukan. Karena
prosedurnya memang sangat sederhana.”
“Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi aku melakukan hal
itu karena aku tidak sayang terhadap diriku sendiri.”
“Maksudmu?”
“Aku tidak sayang terhadap diriku sendiri.”
“Aku sayang terhadapmu.”
“Oh, memang. Tapi aku tidak sayang terhadap diriku
sendiri. Namun aku akan tetap melakukan apa yang kau minta karena semuanya akan
kembali seperti semula.”
“Aku tidak mau kau melakukannya dengan terpaksa.”
Gadis itu bangkit berdiri dan berjalan ke ujung stasiun
kereta. Di seberang sana, di sisi yang lain, padang pasir dan pepohonan tampak
menghiasi tepian lembah Sungai Ebro. Jauh dari tempatnya berdiri, gadis itu
melihat aliran air sungai dan gugusan pegunungan. Segumpal awan bergerak halus
di langit luas, menyeret bayang-bayang yang meneduhkan sebagian padang pasir
yang menghampar; dan ia bisa melihat badan sungai lewat celah-celah pepohonan.
“Dan kita bisa memiliki semua ini,” kata si gadis. “Kita
bisa memiliki segalanya; dan setiap hari hidup kita akan semakin bahagia.”
“Apa katamu?”
“Kubilang kita bisa memiliki segalanya.”
“Kita memang bisa memiliki segalanya.”
“Tidak, kita tidak bisa memiliki segalanya,” kata si
gadis.
“Kita bisa menguasai dunia,” kata si pemuda.
“Kita tidak bisa menguasai dunia.”
“Kita bisa pergi kemana saja.”
“Kita tidak bisa pergi ke mana saja, karena dunia ini
bukan milik kita lagi.”
“Tentu saja dunia ini milik kita,” desak si pemuda.
“Bukan. Begitu mereka mengambilnya, kita tidak akan bisa
merebutnya kembali.”
“Tapi mereka belum mengambilnya.”
“Lihat saja nanti.”
“Kemarilah, jangan panas-panasan disana,” bujuk si
pemuda. “Kau tidak boleh bersikap seperti itu.”
“Aku tidak menunjukkan sikap aneh,” balas si gadis. “Aku
hanya tahu beberapa hal yang tidak kau ketahui.”
“Aku tidak ingin kau melakukan sesuatu karena terpaksa—”
“Ataupun sesuatu yang sifatnya tidak baik untukku,” kata
si gadis. “Aku tahu. Boleh pesan satu gelas bir lagi?”
“Baiklah. Tapi kau harus mengerti bahwa—”
“Aku mengerti,” kata si gadis. “Bisa tidak kita berhenti
bicara sekarang?”
Mereka duduk di meja yang sama dan si gadis memandangi
deretan bukit yang dikelilingi oleh tanah gersang di sekitar area lembah;
sementara si pemuda memandangi kekasihnya dari seberang meja.
“Kau harus mengerti,” ujar si pemuda. “Bahwa aku tidak
mau kau melakukan sesuatu karena terpaksa. Aku tidak keberatan melakukan
sesuatu untukmu kalau hal itu sangat berarti bagimu.”
“Apakah hal itu tidak ada artinya bagimu? Kita mungkin
punya pemecah masalahnya.”
“Tentu saja hal itu berarti untukku. Tapi aku tidak
menginginkan orang lain selain dirimu. Aku tidak mau siapa-siapa, kecuali
dirimu. Dan aku juga tahu bahwa prosedurnya sangat sederhana.”
“Aku tahu. Kau sudah mengatakan itu berkali-kali.”
“Kau pikir aku bercanda, tapi memang begitu
kenyataannya.”
“Apa kau mau melakukan sesuatu untukku sekarang?”
“Aku akan melakukan apa saja untukmu.”
“Aku minta agar kau please please please please please
please please berhenti bicara.”
Si pemuda pun segera bungkam dan menatap tumpukkan koper
yang disandarkan pada dinding stasiun kereta. Tersangkut di koper-koper itu
adalah label dari berbagai hotel yang telah mereka tempati.
“Tapi aku tidak mau kau berhenti bicara,” kata si pemuda.
“Aku tidak perduli apa yang kau bicarakan.”
“Aku akan berteriak kalau gitu,” kata si gadis.
Si pelayan wanita melangkah keluar dari bar melalui tirai
manik bambu yang menggantung di ambang pintu seraya membawa dua gelas bir. Ia
meletakkan gelas-gelas itu di atas meja. “Kereta kalian akan tiba lima menit
lagi,” ujarnya.
“Apa katanya?” tanya si gadis pada si pemuda.
“Kereta kita akan tiba lima menit lagi.”
Gadis itu tersenyum lebar pada si pelayan wanita sebagai
tanda terima kasih atas pemberitahuannya.
“Sebaiknya aku membawa koper-koper kita ke sisi lain
stasiun sebelum kereta tiba,” kata si pemuda. Gadis itu melempar senyum
manisnya ke arah pemuda tersebut.
“Baiklah. Setelah itu kau kembali ke sini dan habiskan
bir-mu.”
Pemuda itu mengangkat dua koper besar nan berat dan
memindahkannya ke sisi lain stasiun kereta. Sekembalinya darisana, ia melintasi
ruang bar, di mana para penumpang yang sedang menunggu kereta tengah membunuh
waktu sambil minum-minum. Si pemuda memesan segelas Anis di meja bar dan menatap
kerumunan orang di sekelilingnya. Mereka semua tengah menunggu kedatangan
kereta. Kemudian, ia melangkah keluar lewat tirai manik bambu. Gadis tadi masih
duduk di meja yang sama dan melemparkan senyum ke arahnya.
“Kau sudah merasa lebih baik?” tanya si pemuda.
“Dari tadi juga aku baik-baik saja,” ujar si gadis. “Tak
ada yang salah denganku. Aku baik-baik saja.”
Hak Cipta © 2012. Fiksi Lotus dan Ernest Hemingway. Tidak
untuk dijual, ditukar, ataupun digandakan.
—————————–
# CATATAN:
> Kisah ini bertajuk “Hills Like White Elephants”
karya novelis dan cerpenis Amerika Serikat, ERNEST HEMINGWAY. Pertama kali
diterbitkan di koleksi kumpulan cerpen bertajuk “Men Without Women” pada tahun
1927.
>> ERNEST HEMINGWAY adalah seorang novelis dan
cerpenis asal Amerika Serikat yang pernah memenangkan Hadiah Nobel di bidang
Sastra pada tahun 1954. Termasuk di antara karya-karya populernya adalah: “The
Sun Also Rises”, “A Farewell To Arms”, “For Whom The Bell Tolls”, “The Snow Of
Kilimanjaro” dan “Old Man And The Sea.”
# POIN DISKUSI:
Apa kira-kira
yang dapat kamu interpretasikan dari simbol bukit-bukit putih dalam cerita ini?
Imaji apa lagi
yang kira-kira kamu anggap sebagai simbol dalam cerita ini? Kenapa?
Dari bahasa
tubuh dan dialog yang terjadi antara si pemuda dan si gadis, kesimpulan apa
yang bisa ditarik tentang hubungan mereka?
Hemingway
menggunakan teknik bercerita yang memberi kebebasan luas terhadap pembaca untuk
menginterpretasikan inti dari cerita ini. Bagaimana pandangan kamu sebagai
pembaca?
2 komentar:
sebagai pembaca yang baru kenal dengan nama fenomenal ernest hermingway, saya mengakui bahwa cukup bingung dalam menggambarkan dan menangkap ide ceritanya. mungkin karena substansi atau muatan ceritanya yang memnuntut pembacanya untuk menyimpulkan sendiri makna ceritanya membuat saya kesulitan mencerna maknanya, tapi secara umum cerita ini menarik. good posting admin :) tambah lagi ceritanya ya! :)
yup benar sekali.. ciri khas ernest hemingway yg menjadi daya tarik pembaca adl makna yg tidak gamblang diutarakan shg pembaca memiliki kebebaaan dlm menafsirkannya.
thanks Min atas pistingnya😊
Posting Komentar