Cianjur, ruang TV 23:26
Jum’at, 1 Feb 2013
Mydear, akhir-akhir ini aku merasa gelisah, aku ingin menulis, tapi aku merasa tak dapat menghasilkan tulisan yang bagus. Aku merasa putus asa. Aku membaca cerpen-cerpen yang dimuat di koran-koran atau majalah itu, dan ingin mengikuti arusnya, tapi bergidik dengan berpikir itu sangat orang lain, bukan aku yang sebenarnya, lalu kemudian ideku macet di tengah jalan. Aku berusaha mencari naskah-naskahku yang hilang itu di setiap lekuk rumah, tapi aku tak kunjung menemukannya. Lalu aku merasa kosong, dan aku merasa aku telah jadi cacat dengan kehilangan mereka,kepingan jiwa-jiwaku yang lain. Aku merindukan mereka, lebih dari ketika aku merindukan pacarku yang mana pun. Aku ingin mendekap mereka lagi, kumpulan kertas-kertas itu, meyentuh tubuhnya yang tipis dan seputih kapur. Mencium aroma kertas lapuk. Menyapa jiwa-jiwa mereka, aku yang lain.
Aku sampai minta ke Aah, untuk menemukan mungkin ada orang pintar yang bisa melihat dengan mata batin dimana naskah-naskah itu sekarang. Sesuatu yang konyol, mungkin, seenggaknya itu lah kata suamiku, abahnya edelweis, ketika aku mengutarakan ide itu. Tapi itu karena aku saking putus asanya. Adakah mungkin orang-orang seperti itu bisa melacak benda mati? Selama ini yang kutahu mereka bisa melacak orang hilang, atau barang yang hilang, yang tentunya ada pencurinya yang hidup sehingga bisa dilacak, tapi benda mati seperti kumpulan kertas? Mungkin raganya mati, tapi tulisan-tulisan di dalamnya hidup seperti aku yang bernafas sekarang. Jika jeli, kau bisa menemukan denyut kehidupan di dalamnya. Kau bisa menemukan kebahagiaan, kesedihan, arus hidup, segalanya.... dan aku tak bisa menemukannya!!!!!! Dimana dirimu wahai kepingan jiwa-jiwaku???
Dalam kegelapan ini, aku mencari-cari pencerahan, ngobrol dengan orang yang kuaanggap pantas adalah salah satunya. Dia Mas Hendrajit,direktur the Global Future Institute, sebuah komunitas kajian neolib atau pun semacamnya, temanku ketika aku di Bandung, yang kutemui pertama kali ketika dia jadi pemateri untuk sebuah acara diskusi di Museum KAA dengan AARC. Berikut percakapanku dengannya di chat Facebook:
Aku : mas, bisa inbox-in biar bisa membuat tulisan yang bagus?lagi mumet bgt nih butuh pencerahan
Mas Hendrajit: inboxin yang mana nov
Aku: iy maksudnya mungkin mas hendrajit punya nasihat buat saya
Mas Hendrajit: oh gitu
Pertama
Menulis itu kamu harus mengenali apa deep passion atau kekedalaman ga rahmu yang sesunguhnya sekarang
itu langkah pertama sebelum berbicara soal how to write-nya
karena menulis jenis apapun tulisan itu, entah ilmiah atau sekadar essay, hanya akan menarik dan berjiwa, kalau kamu mengiktui deep passion- yang melekat dalam sifat bawaanmu
Aku: deep passion, berarti ketertarikan saya, sifat saya, saya yang sebenarnya? iy kan mas?
Mas Hendrajit: iya tepat sekali
karena kamu harus ingat
bagaimanapun juga
menulis hanya sekadar sebuah jembatan
agar pesan pesan jiwa sejatimu tersampaikan pada dunia
Aku: tapi kalo liat requirements kalo mau dimuat di koran2 ato majalah harus mengikuti style mereka ya mas
Mas Hendrajit: nggak juga
justru mereka dimuat karena masing masing
punya style sendiri sendiri
kalau kamu baca kompas beberapa tahun silam
MAW Brouwer, Mahbub Junaidi, Umar Khayam
punya style masing masing
Aku: kalo menulis untuk diri saya sendiri sih saya bisa jadi diri sendiri, tapi kalo meliat cerpen2 koran itu saya rasanya dipaksa untuk menulis jadi orang lain, dan akhirnya tulisan saya mandeg..... permasalahnsejati saya sekarang,,
Mas Hendrajit: jadi style yang mereka masing masing punya
sejatinya berasal dari deep passion masiang masing penulis
fiksi atau kisah nyata rumus ini berlaku sama
Aku: begitu ya,, mungkin saya memang harus jadi diri saya sendiri, menulis yang saya suka, yang saya mau, dan tidak mencoba untuk jadi orang lain
Mas Hendajit: ritu mutlak adanya bagi siapapun yang mau jadi penulis
karena style atau gaya
menunjukkan dia punya deep passion yang konsisten dan menetap
dari situlah menulis
menjadi sarana untuk eksplorasi
sarana untuk menganalisis
sarana untuk pengungkapan isi hati
dan sarana untuk menggugah jiwa banyak oranng atas sebuah isu yang jadi keprihatinan atau concenrn mu pribadi
makanya setiap penulis yag jujur pad diri sendiuri
pasti punya gaya yang berbeda
dan tidak akan sama
Aku: iya betul, tapi ada yang membagi-bagi gitu ya, antara sastra serius sama sastra populer,, kalo saya tulis dengan gaya populer mungkin ga bakal dimuat di kompas ya, hehe
Mas Hendrajit: hehehe
itu juga cara pandang yang keliru\
yang menentukan sastra itu serius atau ngepop
bukan kita sebagai penulis
Aku: gt ya?
Mas hendrajit: kita sebagai penulis hanya menulsi apa yang harus kita tulis
Pram kan ga peduli tulisan dia itu sastra atau bukan
dia menulis mengikuti deep passion ini sendiri
Emile Zola menulis karya karya-nya karena deep passion dia
yang kebetulan sebelumnya pernah jadi wartawan politik
deep passion Pram yang begitu kuat dalam menelusuri arsip arsip dan riset
menghasilkan sebuah genre atau aliran sastra tertentu
tapi itu kan penilaian para kritikus
sastra
bukan mau maunya dia
Zola, karena pernah jadi wartawan politik
karya karya sastranya sangat peka
dalam menggambarkan profil orang
karena wartawan terbiasa memulis feature
atau profil sosok
saya kagum pada karya Zola
Theresa Raquim
begitu kuat penggambaran profil dan karakter tokoh2nya sehingga mampu menjembatani ide besar Zola
dalam novel itu
Aku: hmmm tp aku bukan pram yg pernh dipenjara ato emi zola yg pernah jd wartawan. aku cmn perempuan biasa,, hihihi. kdg berpikir mungkin the thrill of life dibutuhkn utk inspirasi,,,
bukn hidup yg biasa2 saja
Mas Hendrajit: deep passion-ketertarikan dan minat-bakat-perbuatan
itu intinya novi
bukan soal pernah dipenjara atau jadi wartawan
kamu harus nangkap inti pesan yang kumaksud
kalau toh pram sejatinya adalah seorang pengarsip dan periset sejati mendahului karya sastranya
itu karena dia mengikuti deep passion dan ketertarikan-minat yang
kemudian dia jabarkan dalam bakat sebagai penulis dan sastrawan
kebetulan saja dia memilih jalur fiksi
kalaupun dia menulis non fiksi aku yakin style-nya pun sama saja dengan dia menulis fiksi
sastra bagi pram hanya sarana melayani deep passion dia sebagai pengarsip dan periset
Zola, akhinya memakai sastra untuk melayani deep passion dia sebagai wartawan investigator
tak heran jika pram maupun zola,amat kuat dalam karaterisasi tokoh
dan dalam menghidupkn setting sosial dari cerita
sehingga jiwa dari tema tulisan bisa terjembatani dengan baik
Mas hendrajit: masalah terbesar dirimu adalah, kamu tidak pernah menyempatkan diri mencari tahu apa deep passion sesungguhnya
bahkan sewaktu kamu masih di kampus sekalipun
padahal jiwamu meronta untuk disapa
untuk dikenali
karena kamu pada fase fase itu selalu lebih mengutamakan olah pikir dan rasio
bahkan egomu
tanpa kamu sadari, waktu cepat berlalu, dan kamu tahu tahu sudah berumah tangga
tapi belum terlambat, dan selalu ada waktu untuk berobah
Demikian tausiah singkat pagi ini
hehehe
Aku: makasiiiiiihhhh bgt mas,,, atas pencerahannya,,, saya pikir saya sebenarnya sudah tau apa deep passion saya,, cmn mungkin belum saya gali bener2,,
selama ini saya selalu merasa kosong,, karena dunia kepenulisan yang sudah saya tinggalkan teralu lama,,
teman2 penyair saya dari waktu sma sekarang bahkan sudah menerbtkan novel, atau jadi vcerpenis mahir,, dan saya masih jalan di tempat. mungkin memang karena ego dan kesombongan saya
Mas Hendrajit: itulah
Aku: saya jadi sepetrti ini
Mas Hendrajit: hehehe
AKu: what a bitter!
eh malah ketawa, hihihii
Mas hendrajit: hehehehe
ikutan dong tadarusan DBR
Aku: mas hendrajit suka ikut ya?
di mkaa kan?
Mas henrdajit: untuk bahas bab2 tertentu aku selalu diundang jadi pembahas
baik bukunya cak ruslan maupun ali satro
10:22am
Tanpa sadar aku berurai air mata ketika aku chatting dengan mas Hendrajit. Terutama di bagian ketika aku menuliskan bahwa aku merasa kosong, dan aku sudah tertinggal jauh di belakang teman-temanku yang lain sesama penulis. Hal itu membuat anak-anak yang bermain dengan Edelweis di rumahku, menatapku keheranan. Mereka sangat polos, dan tentu mereka bertanya kenapa aku menangis. Sesuatu yang hanya bisa kujawab dengan senyum pahit.
Seperti yang bisa kau baca di chat history tadi, mydear... rupanya aku harus mengikuti panggilan jiwaku lagi, sesuatu yang selama ini telah lama aku abaikan, mungkin itu lah sebabnya aku merasa hidupku dalam kehampaan, merasa ada sesuatu yang kurang, jiwaku terasa kosong. Dengan menulis aku merasakan eksistensiku, aku merasa penuh, dan aku bisa jadi diriku sendiri, merasa berharga, merasa punya sesuatu yang bisa diperjuangkan untuk membuatku rela meneruskan hidup ini. Aku sudah lama sekali tidak menulis, aku bahkan sudah bertahun-tahun tidak meyapamu lagi, mydear, tidak menulisimu lagi dengan pikiran-pikiranku, kejadian-kejadian penting dalam hidupku.
Sekarang aku harus memulainya lagi dari nol, dengan pahit, meraba-raba dengan buta untuk menemukan cahaya. Menulisimu, membuat blog baru, mencoba membaca lagi, merenung lagi dan menulis lagi, adalah awalan dari semua itu. Semoga dan semoga aku bisa tetap konsisten. Karena aku tahu, untuk ini lah aku dilahirkan..
Catatan: Gambar diambil dari http://images.elephantjournal.com/wp-content/uploads/2012/06/Doorway-to-my-soul1-500x375.jpg (1/2/13)
0 komentar:
Posting Komentar