Rabu, 22 November 2017

Cerita Dari Kabin D7 523 Tokyo-Kuala Lumpur

Memoar Perjalanan Jepang November 2017

13 Nov 2017
Dalam Penerbangan Tokyo Ke Kuala Lumpur Air Asia D7 523
23.45 Malam-6.20 Pagi

Aku takut terbang. Aku selalu dan mungkin akan menjadi “a nervous flyer”, tak peduli seberapa banyak aku terbang. Jika aku bisa memilih, aku lebih baik memilih transportasi lewat darat. Tapi di zaman sekarang ini,untuk efisiensi waktu dan uang, pesawat lah yang paling efektif. Perjalananku dengan pesawat terbang masih bisa dihitung dengan jari; Bali-Bandung PP, Bangkok –Jkt PP , lalu sekarang Jkt-Kuala Lumpur PP, dan Tokyo-Kuala Lumpur PP.

Seperti biasa penerbangan Air Asia tengah malam itu fullbooked. Semua orang sudah mengantri ke gate. Banyak warga Jepang dan Malaysia dalam penerbangan malam itu karena memang dari Tokyo ke Kuala Lumpur.

Aku segera masuk ke dalam kabin pesawat, dengan disambut pramugari cantik berpakaian merah menyala khas Air Asia dan segera mencari tempat dudukku di 41 F. Seperti biasa aku kebagian duduk di tengah diantara dua kursi. Untuk longhaul flight memang memakai pesawat besar yang dalam satu barisnya muat 9 kursi dengan formasi 3-3-3. Dan tempatku duduk itu di tengah di baris kursi yang tengah.

Kadang aku berpikir bagaimana mungkin pesawat yang begitu besar ini bisa terbang ke langit layaknya burung. Jika kau mencari-cari tentang magic, tak perlu jauh-jauh membayangkan Harry Potter. Pesawat segede rumah gini bisa terbang juga sudah merupakan sihir menurutku.

Aku pun duduk dengan rapi di kursi, menunggu teman duduk di sebelah kanan dan kiriku datang. Dan berharap agar mereka perempuan agar aku tidak kikuk dan bisa ngobrol seperti yang kutemui di pesawat sebelumnya di perjalanan dari Kuala Lumpur ke Tokyo. Aku duduk dengan Nina, warga Malaysia yang sedang studi S2 di Jepang. Mendengar aku bepergian sendiri ke Jepang, dia memberikan nomor hpnya padaku dan mengajakku untuk bergabung dengan teman-temannya pada tgl 12 november, karena mereka akan tamasya ke Nikko untuk melihat daun-daun musim gugur. Bagian ini akan kuceritakan lagi di bagian lain nanti.

Tak lama kemudian seorang ibu berkerudung datang, dengan bahasa melayu Malaysia menyuruh anak laki-laki yang berumur sekitar 17-18 tahunan untuk duduk di sebelahku. Well, pupus sudah harapanku untuk punya teman duduk perempuan :D .

Selang beberapa menit, ada suara seorang laki-laki menegurku, “Excuse me..” Aku menoleh ke sisi kananku dan melihat seorang laki-laki jangkung berkulit putih dan berwajah Asia menatapku. Alisnya hitam, ra mbutnya pendek. Dia berumur sekitar 25 tahunan. “Is this 41?”

“Oh, yes,” jawabku beberapa detik kemudian.

“Ok,” jawabnya. Dia lalu duduk di sebelahku, membereskan tasnya dan merapikan jaketnya. Aku sekilas melihat paspor biru tua yang dipegangnya, di atas paspornya tertera huruf Kanji yang tak aku mengerti, lalu ada lambang  entah matahari/bunga, lalu di bawah lambang itu ada huruf latin tertera, “JAPAN PASSPORT”. Dia mengobrol dengan bahasa jepang dengan seorang teman laki-lakinya yang duduk di sebrangnya

Damn, umpatku dalam hati. Alih-alih dapat teman duduk perempuan, aku malah dapat teman duduk cowok jepang ganteng. Oh my Goood. Heiii aku kan udah bersuami dan jadi emak emak anak dua harus sadar diri hehehe.

Pesawat mulai berjalan ke tempat landasan pacu sementara para pramugari dan pramugara memperagakan keselamatan. Dari Intercom yang bergema dalam seluruh pesawat , terdengar Kopilot memperkenalkan seluruh awak kabin , yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Jepang oleh  salah satu pramugari.

Peragaan keselamatan selesai, seluruh awak kabin mengencangkan sabuk dan duduk di kursi masing-masing. Lampu pesawat diredupkan, mesin pesawat mulai berdengung kencang, dan roda-roda pesawat mulai berlari. Kemudian sensasi melambung itu mulai terasa saat hidung pesawat mulai menukik ke dalam malam yang gulita. Seluruh kabin senyap, lampu masih belum dihidupkan dan pesawat masih tetap berguncang keras. Aku tak hentinya melafalkan syahadat dalam hatiku.

Nah, kataku dalam hati, biasanya setelah pesawat telah mencapai “cruising altitude” tanda sabuk pengaman akan dipadamkan, lalu lampu kabin akan dinyalakan, dan pramugari cantik itu akan segera membagikan makanan dan minuman. Tapi setelah lama ditunggu-tunggu lampu sabuk keselamatan tetap menyala dan lampu tetap dipadamkan dan pesawat masih berguncang keras. Lalu dari Intercom yang bergema ke seluruh kabin copilot mengumumkan, “…due to the turbulence, please be seated with your safety belt buckled in. the toilet would not be available in this moment…”

Mendengar itu aku hanya bisa terus melafalkan syahadat, beginilah saat orang yang takut terbang ketika harus terbang. Aku melirik ke kiri, ke anak remaja  Malaysia di sebelahku yang hanya diam membisu, lalu melirik ke lelaki jepang di kananku, yang  tampak sedang sibuk memainkan game di smartphonennya dengan headset terpasang di kedua telinganya. Setelah guncangan yang berlangsung entah beberapa lama, akhirnya lampu kabin dinyalakan dan kopilot mengumumkan bahwa passanger bisa menggunakan toilet dan makanan akan dibagikan. Aku pun mengeluarkan nafas lega sambil mengusap wajahku. Rupanya tingkahku itu menarik perhatian pria Jepang di sebelahku itu, dia sejenak berhenti dari main game di smartphonenya dan melirikku. Membuatku malu sendiri.

Pramugari memberikan makanan jatahku, nasi biryani, sementara anak remaja Malaysia di sebelahku mendapat spagettinya. Pria jepang itu tetap sibuk dengan main game di smartphonenya. Saat aku kesulitan membuka tutup botol air mineralku, remaja Malaysia di sebelahku menatapku lalu mengangguk pelan, menawarkan untuk membukakan tutup botolnya . Aku pun memberikan botol air mineralku kepadanya dan dia membantu membukakannya. “Terima kasih,” bisikku padanya. Dia tersenyum. Sweet kid.

Setelah makan dan minum selesai dan para awak kabin mengumpulkan sampahnya, tiba-tiba lampu kembali dipadamkan, dan kopilot kembali mengumumkan kalau kita akan menghadapi turbulensi sehingga sabuk harus tetap terpasang. Pesawat berguncang keras, lalu para pramugari berkeliling untuk memastikan para passanger mengenakan sabuk di kursinya sambil berkata, “Seat belt in,please…”

“Cabin crew please be seated!” perintah kopilot melalui Intercom.

Aku pun menelan ludah. Kalau kru kabin yang sudah terbiasa terbang juga sudah disuruh duduk dengan sabuk terpasang, berarti turbulensi yang akan dialami benar-benar parah. Meski begitu, aku tak melihat kabin kru, setidaknya yang di depanku, duduk dengan sabuk terpasang di kursinya seperti yang diperintahkan. Aku terus berdo’a dan mengingat anak-anakku di rumah, yang berumur 6 & 3 tahun. Aku mengingat bagaimana hangatnya tubuh mereka dan wangi bedak dan minyak telon dari tubuh mereka. Tuhan, aku hanya ingin memeluk mereka, tolong selamatkan aku, selamatkan pesawat ini (lebay memang, tapi waktu itu aku benar-benar ketakutan).

Pesawat terus berguncang keras, dan aku pun tak tahan lagi. Aku menoleh ke lelaki Jepang di sebelah kananku itu, menepuk lengannya. “Excuse me…” bisikku.   

Lelaki Jepang itu menoleh ke arahku, lalu buru-buru melepas headset yang menempel di telinganya sejak dari tadi. Dia menatapku dengan pandangan bertanya. “Do you want to go the bathroom?” katanya, hendak bangkit dari kursinya.

“No..no…” tahanku. “Are the flights  from Tokyo to Kuala  Lumpur at night always like this?” kataku. “Is it always getting  this bumpy?”

Mendengar pertanyaanku dia tersenyum. “Actually,no,” jawabnya tenang. “I don’t know why this night is different.”

Glek! Lah yang sudah terbiasa dengan rute ini juga bilang ada yang berbeda dengan penerbangan malam ini. Aku membayangkan pesawat ini mengarungi awan-awan kelabu di tengah lautan udara yang gelap, in the sky in the middle of nowhere. Aku terus berdo’a saja semoga tidak ada alat navigasi yang rusak di pesawat ini. Tak ada satu pun sekrup yang terlepas yang terlewat dari inspeksi para kru di darat yang bisa mengakibatkan hal-hal fatal.

“But it’s okay,” katanya buru-buru menambahkan. Mungkin melihat raut wajahku yang terlihat cemas di tengah redupnya cahaya kabin. “It’s’Asia aniway. We’ll be alright.”

“I’m scared,” bisikku. “I don’t fly many, so I don’t know…”

“It’s okay,” katanya dengan nada menenangkan. “Where are you from?” tambahnya lagi. 

“I’m from Indonesia,” jawabku.

“Ah ya,”’sahutnya. “Then what would you do in Kuala Lumpur?”

“My flight transit in Kuala Lumpur before I take another plane to Jakarta.”

“I see. Are you working in Japan or travelling?”

“I’m travelling,” jawabku dengan tersenyum.

“So how is Japan? Japan good,right? Japan cool, isn’t it?

“Yeah,” timpalku bersemangat. “Japan is so beautiful, I love it. So what are you doing in Kuala Lumpur?”

“I’m studying,” jawabnya.

“I see,” kataku. “What about your family?”

“Ya, I’m Japanese. My Family is in Japan. “ jawabnya. “Which part of Indonesia are you? You know I have a lot of friends in my college from Indonesia. They are from Surabaya, Jakarta…”

“Ohya?” seruku. “I’m from Cianjur, near Bandung. West Java. Have you come to Indonesia?”

“No, I have not.”

“You should come, it’s beautiful,” kataku. “You know, you speak English fluently for a Japanese.”

Dan memang benar, bahasa Inggrisnya lancar dan jelas, tanpa ada kelihatan logat Jepang sama sekal. Berdasarkan yang aku alami selama di jepang, rata-rata orang sana tidak bisa bahasa Inggris, atau kalaupun bisa, bahasa Inggrisnya tidak terlau jelas karena logat jepangnya.

Dia tersenyum mendengar pujianku. “I like to study internationally. You know, I don’t like to read Kanji.”

“Oh, really..?”

“Ya, and I don’t like cold weather, I like tropical country, so I come to Kuala Lumpur.”

“Really?” seruku lagi. Aku malah orang tropis yang mencari dingin dan ingin merasakan musim gugur. Dia malah mencari hawa panas negara tropis, hmmm…

Kami mengobrol berbagai macam hal lain lagi, sebelum akhirnya berhenti dan terlelap di tidur masing-masing. Lampu kabin tidak dinyalakan lagi, mungkin maksudnya untuk membiarkan para penumpang tertidur lelap. Aku hanya bisa tidur sekejap-sekejap, karena mesin pesawat juga berdengung berisik, belum dengan turbulensi yang terjadi.

Sekitar 6 jam berikutnya, kopilot mengumumkan dari  interkom yang bergema ke seluruh kabin, bahwa pesawat sebentar lagi akan landing di Kuala Lumpur. Dia menjelaskan bahwa karena cuaca Kuala Lumpur yang berawan dan sedikit hujan, proses landing akan terasa sedikit “bumpy” . Namun sebelum proses landing dilakukan, pramugari dan pramugara beredar sekali lagi untuk membagikan sarapan pagi.

Lelaki Jepang disebelahku sibuk membolak-balik sebuah majalah penerbangan yang berada di kantung kursi di depannya, sebelum dia menyentuhku dan menunjuk sebuah halaman di majalah itu. Kulihat halaman itu menampakkan beberapa kota di Indonesia dengan foto-foto keindahan alamnya masing-masing. “Which part are you?” tanyanya.

“Ah,” seruku. “This one.” Aku menunjuk Bandung dengan foto tangkuban perahunya. Tak ada pilihan Cianjur di sana, dan aku juga pernah tinggal di bandung dan masih sering bolak-balik ke sana sekarang, hehe. “You should come. It’s beautiful,” undangku. Not mentioning the traffic jam dan sampah dimana-mana, hehe. But Bandung is better now,anyway, setelah RK gencar melakukan perombakan wajah Bdg dimana-mana (Sorry, no political interest).

Dia mengangguk-ngangguk dan bergumam, “Bandung…Bandung…”

Lampu kabin kembali diredupkan untuk proses landing. Suasana kembali senyap, hanya terdengar suara deru mesin di kanan kiri kami. Setelah beberapa menit yang terasa seabad, roda pesawat menyentuh tanah, lalu rem, kemudian pesawat melalu proses parking untuk menuju ke terminalnya. Aku berseru dalam hati, “Alhamdulillah!”

Kami pun bersiap-siap mengemas tas kami.

Aku pun melontarkan pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranku dari tadi.”Why do you study in Malaysia? Why not In Japan?”

“Well, like I said earlier I like to study internationally. It’s cheaper here..and I like tropical country.”

“I see.. you are so different,” kataku

“As long as being different in a good way,” katanya sambil tersenyum.

Pikirku, mungkin orang ini bosan dengan masyarakat Jepang yang kaku dan ingin memiliki kebebasannya sendiri.

“Do you have bags up here?” tanyanya menunjuk atas kabin tempat menyimpan tas.

“No, I have my check in luggage.”

“I have my other  two bags here so I have to wait.”

Terdengar pintu pesawat dibuka dan disambungkan dengan gate.

“You know,” tambahku. “Actually I hate flying. I have to catch my next flight after this.”

“That’s okay..” katanya menenangkan.

Lalu dia berbicara tentang kartu SIM  Malaysianya yang expired, dan bagaimana dia mungkin tidak bisa order grab karena harus membeli kartu SIM baru. Dia menceritakan berbagai hal lain lagi dan hal lain lagi, yang hanya bisa aku timpali dengan “Really?” “Yes..” “I see..”. Wah wah ternyata orang jepang ini kalo sudah diakrabi bawel juga ya :D

Aku sudah melangkah ke Alley, antrian menuju keluar sudah mulai bergerak, dan untuk terakhir kalinya aku menoleh ke arahnya dan berkata, “Sayonara..”

Dia melambaikan tangannya dan berkata sambil tersenyum, “Have a nice flight…”

Aku pun melangkah keluar menuju bandara KLIA 2 yang sedikit lebih hangat. Tanpa tahu ada drama yang lain menungguku…


0 komentar:

Posting Komentar