Rabu, 09 Oktober 2013

Tips Menghapal Undang-Undang Dasar 1945





Hi-hi semua! Sekarang aku mau bagi-bagi tips nih tentang bagaimana membuat sesi menghapal Undang-Undang Dasar 1945 menjadi lebih mudah. Menghapal Undang-Undang Dasar biasanya wajib untuk mahasiswa Hukum, Tata Negara dan jurusan-juran lain atau siswa-siswi sekolah yang ditugaskan gurunya. Menghapal UUD 45 pun wajib dilakukan untuk teman-teman semua yang berniat menjadi PNS, karena materi-materi yang terdapat dalam tiap pasal UUD 45 banyak yang keluar dalam Tes Kemampuan Dasar CPNS dalam sub bab Tes Wawasan Kebangsaan.

UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh. Kalau menghapal bagian pembukaan UUD 45 sih, bagi teman-teman yang rajin ikut upacara tiap hari senin dari SD pasti sedikit-banyaknya sudah hapal sendiri di luar kepala. Yap! Karena dengan tidak sadar kita telah menyerap isi pembukaan UUD 45 karena kita mendengarnya setiap hari Senin dibacakan keras-keras, selama bertahun-tahun. Jadi pasti tidak sulit menghapal bagian ini. Terutama karena bagian Pembukaan juga memuat butir-butir Pancasila di alinea ke-4.

Nah, selanjutnya adalah menghapal Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri dari 20 Bab, 73 Pasal, 194 ayat, 3 Pasal Aturan peralihan dan 2 Pasal Aturan Tambahan (setelah mengalami 4 kali amandemen). Jujur saja, pas aku liat sebanyak itu yang harus dihapal, aku menggeleng kepala keras-keras dan berteriak, “NOOOO! How the hell  can I do that???” Nampak syereemmm banget bolak-balik buku kecil UUD 45 yang nampaknya rumit itu. Tapi, yah, like some people say, a big step starts from a thousand little steps, jadi pertama harus tekun, kalo malas-malasan ga bakalan bisa :p. Selanjutnya, ini tipsnya untuk mempermudah acara penghapalan teman-teman sekalian:

  1.  . Pahami dulu isi ‘cerita’ secara keseluruhan dari Batang Tubuh UUD 45. Baca berulang kali sampai paham, sebenarnya nyeritain tentang apa aja sih UUD 45 ini? Dari sana temen-temen bisa membaca bahwa UUD 45 berisi berbagai peraturan dasar tentang Lembaga-lembaga Tinggi Negara (MPR,DPR,DPD,Presiden,MK,MA dll), juga tentang dasar-dasar bentuk dan kedaulatan, perekonomian, HAM, pendidikan, hukum, Agama, Kependudukan, hankam dll. 

    2. Pahami setiap bab, pasal dan ayat secara holistik, bukan secara satuan, karena setiap pasal dan ayat dalam tiap babnya berhubungan satu sama lain, tidak berdiri sendiri. Aku contohkan begini:

Bab II
Majelis Permusyawaratan Rakyat
(Tiap babnya pasti diberi judul. ini memudahkan kita untuk menebak akan bercerita tentang apa bab yang akan kita hapalkan)
Pasal 2
(1)   Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilah Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. 
(2)   Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota Negara. 
(3)   Segala keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak 
(Coba cermati ayat 1-3, jelas bahwa pasal 2 ini berisi tentang tata cara pemilihan anggota MPR, waktu sidang dan yang berkaitan dengan tata cara/aturan umum MPR. Maka tanamkan di kepala teman-teman bahwa pasal 2 berkenanaan tentang aturan umum MPR, sehingga memudahkan untuk menghapal tiga ayat yang ada di dalam pasal 2 tersebut.)
Pasal 3 
(1)   Majelis Permusyawaratan Rakyat mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar 
(2)   Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil presiden. 
(3)   Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan  Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar  
(Coba cermati ayat 1-3, jelas bahwa pasal 3 berisi tentang tugas dan fungsi MPR,  jadi tanamkan di kepala teman-teman bahwa pasal 3 berkenanaan tentang tugas dan fungsi MPR, sehingga memudahkan untuk menghapal tiga ayat yang ada di dalam pasal 3 tersebut.)
Pola hirearkis ini umumnya memang sama di setiap bab yang bercerita tentang Lembaga-lembaga Tinggi Negara di bab-bab lain, yaitu setiap pasal dimulai dengan aturan umum, lalu fungsi dan tugas lembaga Negara.  

3.    Bab yang menjelaskan tentang pendidikan, perekonomian, agama, Ham dll berlaku pola umum-khusus. Maksudnya ayat pertama dari tiap pasal pasti bersifat umum, yang diikuti ayat-ayat berikutnya yang lebih bersifat khusus/spesifik. Dengan memahami konsep ini proses menghapal akan menjadi lebih mudah. Contoh:

Bab XI
AGAMA
Pasal 29
(1)   Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (bersifat umum) 
(2)   Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (bersifat khusus)

4.   Gunakan kata kunci. Menggunakan kata kunci membuat teman-teman bisa lebih mudah dalam mengingat kata-kata lain secara menyeluruh dalam satu ayat. Misalkan pasal 33 ayat 1 yang berbunyi, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.” Teman-teman bisa menggunakan kata kunci “perekonomian” “bersama” dan “kekeluargaan”. 


5.  Jika teman-teman punya waktu lebih, sambil menghapal, tulis ulang semua pasal dan ayat dari batang tubuh UUD nya, hal itu secara psikologis sangat membantu dalam proses menghapal.


Nah sekian tips-tips menghapal Undang Undang Dasar 1945 dariku. It really works for me, but I don’t know for anybody else. Di luar itu, tiap-tiap orang mungkin punya metode sendiri dalam memudahkan mereka dalam menghapal. Yah, but I hope this one really works for you too. Thank you and see ya! :)

Notes: Kalo ada yang mau copy-paste ke web/blognya tolong sertakan juga link sumber dari sini ya :) (Katumbiri Noviana)



Senin, 25 Maret 2013

Cerpenku Yang Dimuat di Majalah Chic





Cianjur, Ruang TV, 19.29 malam
Rabu, 25 Maret 2013



Alhamdiulillah, ini cerpenku yang dimuat di Majalah Chic edisi 20 Maret-3 April 2013. Sebenarnya ini cerpen pertama yang aku tulis setelah bertahun-tahun ga nulis, and cerpen pertama yang aku kirim ke mjalah Chic, ga nyangka banget bakal langsung lolos. A miracle, I'd say :)




Kau, Cinta Kembang Api
Katumbiri Noviana


Aku berdiri di sana lama sekali, atau kupikir begitu. Menatap tempat terakhir tubuhnya yang jangkung dan langsing menghilang. Andai saja ada kehidupan yang lain, Lei.. Aku mengeluarkan dompet dari tasku, mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalamnya, kartu nama Lei. Aku menatap kartu nama itu dalam-dalam.
Kata Ibuku, aku akan merasakan dua jenis cinta di dalam hidup ini. Cinta yang pertama adalah cinta yang semeriah kembang api. Sangat indah, bergemuruh dan menggebu-gebu, tapi ketahanannya tak lebih dari beberapa detik, semuanya akan padam, keindahan yang gemerlapan itu akan hilang ditelan gulita, menyisakan kanvas langit malam yang kelam dan kosong. Cinta yang kedua adalah cinta yang tumbuh dalam kesunyian. Pelan namun mengakar. Perlahan tapi pasti. Sesuatu yang lebih hidup. Sesuatu yang alami, bertumbuh, berproses.
Sekarang aku mengerti apa yang ibuku maksud. Aku telah merasakan keduanya.

Aku mengingatnya. Cara dia berjalan memasuki pintu museum dengan sangat piawai. Langkahnya ringan membawa tubuhnya yang langsing dan jangkung. Pembawaannya ramah, terlihat dari garis wajahnya ketika tersenyum sambil mendekati meja resepsionis. Sebuah kamera SLR menggantung di lehernya. Pertama masuk, dia langsung sibuk membidikkan kameranya ke patung diorama penggagas Konferensi Asia Afrika 1955.
Aku tahu, dari rambut hitamnya yang terpotong rapi, kulitnya yang putih kekuningan, dan  matanya yang sedikit sipit, dia pasti turis dari Asia Timur. Cina daratan mungkin, atau Jepang, atau mungkin Korea?
Dia mengayunkan langkah dengan keanggunannya yang kokoh menuju meja resepsionis, tersenyum menawan.
Hi,” sapanya kepadaku. “I’m a journalist from People’s Daily, Chinese Newspaper from China Maindland, I’m intending to write an article...” Dia menunjukkan kartu keanggotaan jurnalistik yang menggantung di lehernya.
Welcome to Museum of the Asian African Conference, Sir. Would you like me to assist?” sambutku dengan keramahan yang biasa kutunjukkan pada setiap tamu.
Dia tersenyum. “Sure, thanks,”
Please come with me,” kataku, memimpin jalan untuk tur pertama ke ruang utama Gedung Merdeka.
“Jinhan Lei,” katanya, dia menyodorkan tangannya. “Panggil saja Lei. Itu lebih singkat dan lebih enak didengar,” katanya, masih dalam Bahasa Inggris, dia tertawa kecil.
Ketika itu lah aku memperhatikan sosoknya. Bukan laki laki yang semempesona itu sebenarnya, tapi aku melihat ada yang mengesankan dari dirinya. Usianya sekitar 30 tahun. Matanya yang hitam menyorotkan kehangatan. Alisnya melengkung hitam sempurna membingkai wajahnya, dengan tulang rahang yang kokoh. Cara dia bicara sopan dan terpelajar. Langkahnya ringan mengayunkan tubuhnya yang jangkung dan langsing dengan sangat piawai.
“Azalea,” kataku, menyambut kehangatan tangannya.
How nice to see you, Azalea,” katanya, matanya yang hitam menatapku lekat.
Nice to see you,” Aku menunduk, merasa  ditelanjangi oleh tatapannya.
Setelah tur singkat kami di Ruang Utama Gedung Merdeka, aku pun menjelaskan tur-tur berikutnya. “Mari, saya tunjukkan Galeri Museum, setelah itu anda mungkin mau menonton film dokumenter tentang KAA 1955?”
Dia mengacungkan jempol tanda setuju, sambil terus memotret ruang utama Gedung Merdeka.
Setelah selesai memandunya ke ruang galeri museum, aku mengantarnya ke ruang pemutaran pemutaran film. Lei melangkah masuk dan duduk di kursi baris paling depan, menunggu.
Aku menekan tombol play. TV berkedip dan mulai menampilkan filmnya, sebuah film hitam putih, sementara musik latar videonya mengalun lembut, sebuah lagu berjudul Unforgettable yang dipopulerkan oleh Nat King Cole. Unforgettable, that's what you are. Unforgettable though near or far. Like a song of love that clings to me. How the thought of you does things to me. Never before has someone been more...
Aku duduk dua kursi dari tempat Lei duduk. Ruangan digelapkan sementara film diputar. Aku lihat Lei tidak terlalu terlalu tertarik menonton filmnya, dia malah membalikkan badan kepadaku dan mengajakku mengobrol hal yang lain.
“Anda menikmati pekerjaan sebagai jurnalis?” tanyaku. “Sudah berapa lama di Indonesia?”
“Tentu saja,” katanya terdengar bahagia. “Aku sudah ditempatkan di sini sekitar dua tahun, di Jakarta.”
“Walaupun harus meninggalkan keluarga di sana? Cina bagian mana asal anda?”
“Guangzhou,” jawabnya. “Resiko pekerjaan.”
Pikiran ini sudah menggangguku sejak lama, dan masih menimbang apakah cukup sopan untuk menanyakan langsung kepadanya, tapi kata-kataku selanjutnya meluncur begitu saja tanpa bisa kutahan, “Keluarga anda... apa anda sudah menikah?”
Dia tertegun mendengar pertanyaanku, terdiam beberapa saat, pikirannya seperti sedang bergumul dengan sesuatu, lalu menjawab, “Ya, aku sudah menikah.” Dia terdengar berharap bisa mengeluarkan kata-kata lain, tapi tetap tersenyum sambil menatapku.
Aku menelan ludah. “Jadi, anda pasti sangat merindukan mereka kan? Istri dan.. anak anda...?”
Dia menunduk. ”Ya,” jawabnya. Film terus berputar tanpa dipedulikan siapa pun.
“Kalian punya berapa anak? Berapa umur anak anda?” tanyaku tak sabar.
“Baru satu, baru dua bulan.” Dia menatapku lagi. “Bagaimana denganmu?” tanyanya.
Aku tertawa, dan menggeleng.
“Tapi kamu punya pacar?” tanyanya kemudian, dengan suara ketidaksabaran yang sama sepertiku tadi. “Kamu pasti punya. Gadis secantik dan sepintar dirimu...”
“Oh... stop,” kataku, tertawa. “Ya, aku punya.”
“Baiklah,” katanya lagi, dia kembali menatap televisi, yang aku yakin tak dia tonton benar-benar.
Tepat ketika film berakhir dan aku kembali menyalakan lampu Lei berkata, “Azalea, boleh aku minta no hp mu?”
Tanpa berpikir lagi aku berkata, “Tentu.” Aku menyebutkan no hpku, sementara dia mencatat di hpnya. Dia kemudian mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetnya dan memberikannya kepadaku.
            Thanks,” kataku, memasukkan kartu namanya ke saku jasku. Aku pun mengantarnya sampai ke pintu gerbang keluar museum. Kami berpisah dengan sedikit tidak rela. Rasanya waktu terlalu singkat untuk kami.
            Ketika istirahat makan siang tiba, hpku berbunyi tanda sms masuk. Hatiku melambung tinggi ketika membaca isinya: Aku akan terbang ke Jakarta sore ini. Mau kah kamu makan siang bersamaku sebelum aku pergi? Lei.

Aku terpekur sementara Shemali membereskan kertas kerjanya. Sore itu aku pulang cepat dari museum, sehingga aku bisa mendatangi kantornya. Biasanya dia yang menjemputku pulang. Aku sebagai kekasihnya patut bangga, di usia menjelang 29 Shemali mampu menduduki jabatan sebagai Chief Editor di sebuah Publishing House ternama, meskipun dia sering bilang bahwa bekerja seperti kuda pacu seperti ini bukanlah passion-nya yang sebenarnya. Shemali gemar hiking, dia telah menaklukan sebagian besar gunung di Jawa. Ambisi terbesarnya adalah menaklukan Kilimanjaro.
Petualangan telah membuat tubuhnya tegap dan kokoh. Kulitnya coklat keemasan terbakar matahari. Matanya tajam seperti elang. Dia berjalan dengan keanggunan macan, yang seringkali membuat perempuan menoleh dua kali. Tapi Shemali sepertinya tidak pernah kelihatan peduli, dia laki-laki pendiam. Dia jarang sekali mengucapkan kata I love you kepadaku, apalagi kata-kata mesra, meskipun kami telah dua tahun pacaran. Tapi dia selalu ada ketika aku membutuhkan, seperti mengantar jemput aku setiap hari, meskipun dia pernah harus mengorbankan meeting dengan klien penting dan dimarahi habis-habisan oleh atasannya. Setidaknya tindakan-tindakannya itu lah yang meyakinkanku bahwa dia mencintaiku, yang kini dengan kejam telah kukhianati.
Aku merasa sangat bersalah pada Shemali, aku mencintainya, tapi sekarang sepertinya mataku telah buta oleh sosok Lei. Aku jadi mengerti perasaan perempuan-perempuan itu. Setiap perempuan tak ada yang mau dijadikan istri kedua atau istri simpanan. Semua itu merugikan dan menyakitkan. Tapi anehnya perempuan yang jadi istri kedua banyak. Waktu aku melihat Lei, aku tak melihat istrinya, tak melihat anaknya, tak melihat Shemali. Di dunia ini seakan aku tidak melihat yang lain, aku hanya melihatnya, dan yang aku ingin hanya bersamanya.
Kulihat Shemali beranjak berdiri dari kursinya, menggeliat sedikit. Dia memandangku. “Nunggu lama ya?” katanya sambil tersenyum.
Aku balas tersenyum. “Nggak kok.”
Tiba-tiba hpku bergetar, aku menatap layar dan menemukan nama Lei yang belakangan sering muncul di hpku. Tubuhku mengejang, aku berpikir cepat untuk mencari alasan.
“Dari museum, aku angkat dulu ya,” aku berusaha menyembunyikan kegugupanku.
Shemali menatapku dengan tatapan elangnya, tajam dan menusuk. “Oke,” jawabnya datar.
Aku bergegas keluar menuju kamar mandi perempuan. Setelah kupikir aman aku menekan tombol hijau.
“Lea, are u okay?” kata Lei diujung telepon.
 “Ya, Lei. Ada apa?”
Hanya ada kesunyian, kemudian Lei menjawab, suaranya muram, “Ada kabar buruk.”
Aku tertegun, tapi berusaha tetap tenang. “Ada apa?.”
“Aku harus kembali ke Cina, sabtu sekarang,” jawabnya pelan.
“Oh,” kataku, merasa agak lega, ternyata bukan yang kutakutkan. “Lalu kapan kembali ke Indonesia?”
“Aku tak akan kembali lagi, Lea..” Lei berbisik, kudengar suaranya agak bergetar.
Aku tertegun.
Lei melanjutkan, setelah aku tidak merespon. “Tadi pagi atasanku dari Cina menelepon, penugasanku di Indonesia sudah berakhir, aku diminta untuk kembali secepatnya ke Cina. Aku pikir penugasanku masih satu tahun lagi, tapi ternyata atasanku berubah pikiran, aku dibutuhkan di Cina secepatnya.”
“Lei...” bisikku dengan suara tercekat.
“Aku punya permintaan terakhir..” suaranya lirih. “Maukah kamu ke Jakarta sabtu ini sebelum aku terbang ke Cina? Aku ingin bertemu denganmu, untuk terakhir kalinya,” kata Lei, kemudian dengan nada memohon, “please...could you?”
Sure, Lei...” jawabku, menahan diri agar tangisku tidak meledak. “Why Couldn’t I?”
Thank you, Azalea..” jawab Lei, terdengar sangat lega. “See you, then.”
 Aku menutup telepon. Kurasakan mataku panas dan berair.

Aku berjalan cepat menuju pintu masuk Bandara Soekarno-Hatta. Suasana bandara selalu ramai seperti biasa, termasuk hari ini. Ini alibiku untuk meyakinkan Shemali bahwa aku ke Jakarta untuk mengunjungi Rista, sepupuku yang tinggal di Jakarta. Memang aku akan mengunjunginya, selain sebenarnya ke bandara ini lah tujuan utamaku. White Lie. Aku merasa setengah geli, setengah bersalah. Shemaliku yang baik dengan tanpa curiga mengiyakan, hanya menitip pesan untuk berhati-hati dan menitip salam untuk Rista.
Aku berjalan menuju terminal 2D, mencari-cari diantara orang-orang yang akan menuju boarding lounge. Lalu mataku terpaku ke sana, ke sosok itu. Dia masih laki-laki bertubuh jangkung yang bergerak dengan begitu luwes. Mengesankan. Hangat.
“Lei!” panggilku, beberapa orang di dekatku menoleh kepadaku. “Di sini!”
Lei menoleh. Matanya berbinar saat melihatku. Dia keluar antrian dengan cepat, menyeret kopernya bersamanya.
“Kupikir kamu tidak akan datang,” katanya terdengar lega. Sorot matanya yang hangat membanjiriku.
Aku menatapnya, yang mungkin takkan bisa kutatap lagi. Kutelusuri raut wajahnya yang mengesankan; alisnya yang hitam membingkai wajahnya dengan sempurna, tulang rahangnya yang kokoh..
 “Jadi kapan pesawatmu take off?” tanyaku.
“Sejaman lagi,” jawabnya, sambil mengecek jamnya.
 “Oh...” kataku. “Baiklah, sebaiknya kamu cepat...” Aku tak berhasil meneruskan kalimatku, karena kaget ketika dia tiba-tiba meraih kedua tanganku dan menggenggamnya.
 “Azalea...” bisiknya lembut. “Andai saja aku belum menikah, bersamamu adalah impianku yang paling tinggi. Aku mengutuk Tuhan karena Dia mempertemukanku setelah semua ini, setelah segalanya terlambat...” dia memandang ke atas dengan keresahan dan kesedihan yang tercampur-aduk.
“Tidak,” aku menggeleng sedih. “Meskipun begitu, aku sangat berterima kasih pada Tuhan, karena Dia memberiku kesempatan untuk mengenalmu, sekali kesempatan untuk bertemu denganmu... itu sudah sangat membahagiakanku, Lei...”
Dia menatapku lekat, matanya berbinar, menyorotkan kebahagiaan dan kesedihan sekaligus. “Apa kamu percaya reinkarnasi, Azaela? Dalam kepercayaanku aku mengenal reinkarnasi, dimana satu “jiva” dapat mengalami ratusan kali kelahiran dan kematian, melakukan perbaikan di masa kehidupan selanjutnya di kehidupan yang lain, tubuh yang lain, hingga ia menjadi sempurna dan dapat bersatu dengan penciptanya—“Nirvana”. Andai saja ada hidup yang lain ini, aku ingin di kehidupan mendatang aku bisa bersatu denganmu...”
“Aku...”
“Dengar,” katanya. “Apa kamu masih menyimpan kartu namaku?”
Aku memandangnya penuh tanya, dan mengangguk.
“Di sana ada alamat e-mail-ku.” Katanya. “Please, e-mail aku agar aku yakin kamu benar-benar menginginkanku, dan aku akan kembali lagi ke sini, ke Indonesia, untuk bersamamu. Aku akan mencari cara, bagaimanapun, untuk kembali padamu...”
“Lei, aku..” Tapi aku tak bisa meneruskan kata-kataku, aku hanya mengangguk kaku seperti robot.
Lei tersenyum dengan kehangatan yang meluluhkan hati, seperti cahaya mentari pagi yang melelehkan kebekuan subuh, menerbangkan uap-uap embun, mengusir kabut-kabut di penghujung malam.
“Kurasa aku harus pergi sekarang,” katanya, dia mengangkat dan mendorong kopernya. “You take care...” katanya, meremas tanganku.
Aku mengambil satu langkah ke depan, mendadak tidak ingin melepaskannya. Dadaku bergerumuh oleh duka yang tak jelas. “Lei..” bisikku.
Dia tersenyum. “I’ll be back. Email me.” Dia mencium tanganku. “I love you...”
Aku hanya bisa menatapnya, tak ingin kehilangan sedetik pun momen dalam menangkap setiap gerakan halus yang dia lakukan sebelum pergi. Dia mulai mendorong kopernya ke depan, menatapku sekali lagi, tersenyum, dan berjalan ke arah antrian, sebelum menghilang ke arah boarding lounge.
Kartu nama Lei. Aku menatap kartu nama itu dalam-dalam.
Lei, I’m sorry...” bisikku kemudian. Aku menghela nafas berat, lalu menyobek kartu nama itu.
Melakukan itu seperti merobek hatiku jadi dua, menghilangkan satu-satunya kesempatan untuk pernah berhubungan dengannya lagi. Tapi ini keputusanku. Aku sadar, aku tak bisa berbahagia sementara ada hati perempuan lain yang terluka. Tidak sementara ada anak tak berdosa yang membutuhkan kasih sayang ayahnya. Hak yang mungkin akan aku rampas dari mereka.
Bagi Lei dan istrinya aku hanyalah godaan, perempuan jahat yang mengganggu dan menghancurkan. Dan bagiku, perasaanku kepada Lei hanya hasrat sesaat saja. Cinta yang seperti pernah ibuku bilang semeriah kembang api, hanya indah dalam sekerjapan mata. Sementara bersama Shemali aku belajar tentang cinta yang tumbuh dalam kesunyian. Sesuatu yang alami, bertumbuh, berproses.
Dengan tubuh terguncang aku meninggalkan bandara, pikiranku melayang pada momen pertama kali aku bertemu dengan Lei, momen indah yang takkan pernah bisa tergantikan. Aku membekukan kenanganku di sana. Di saat itu. Dan bertahan di sana sampai entah kapan, ketika aku dan Lei duduk bersisian di ruang pemutaran film museum yang temaram. Saling menatap. Sementara film diputar, musik lembut mengalun darinya, kata-katanya menyihir kami berdua.. Unforgettable in every way. And forever more that’s how you’ll stay. That’s why darling, it’s incridible, that someone so unforgettable. Thinks that i am unforgettable too..