Kamis, 21 Februari 2013

Rainer Maria Rilke--Letters To A Young Poet







Cianjur, Masih Ruang TV, masih pada jam-jam yang sama
Masih Kamis, 21 Februari 2013


Nah ada satu lagi tulisan yang pastinya bakal ‘mencerahkan’, terutama untuk yang berniat menulis ataupun menimbang-nimbang untuk menulis. Bagiku pribadi aku sampai merinding bacanya, bagaimana denganmu? Aku dapat dari website yang sama juga yang dikelola Maggie Tiojakin. Sebuah karya terjemahan juga. Di sini link nya http://fiksilotus.com/2012/06/21/rainer-maria-rilke-surat-untuk-penulis-muda-1/

Dan ini jika kamu penasaran ingin langsung baca, Mydear...

Rainer Maria Rielke – Surat Untuk Penulis Muda

Surat ini merupakan surat pertama dari kompilasi sepuluh surat yang ditulis oleh seorang penyair Jerman, RAINER MARIA RILKE, kepada seorang calon penyair muda bernama FRANZ KAPPUS yang berusia 19 tahun dan bingung memilih antara karir sebagai anggota militer atau penulis. Saat itu Kappus memutuskan untuk mengirimkan puisi-puisinya kepada seorang penyair ternama berusia 27 tahun. Tak disangka, gayung pun bersambut.

Diterbitkan dalam format buku pada tahun 1929, tiga tahun setelah kematian Rilke, rangkaian surat tersebut ditulis dalam periode 6 tahun (1902-1908).

Buku ini dianggap sebagai “panduan bagi penulis” oleh kalangan sastrawan dan penikmat sastra dunia, karena kualitas nasihat yang sifatnya sangat mendalam.

Fiksi Lotus menghadirkan SURAT PERTAMA dari koleksi LETTERS TO A YOUNG POET karena elemen-elemen pembahasan yang unik dalam membangun pribadi seorang penulis. Selamat menikmati! FL



Paris,

17 Februari 1903

My dear sir,

Surat yang Anda kirim baru tiba di tangan saya beberapa hari lalu. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang Anda berikan kepada saya lewat surat tersebut. Rasanya sulit bagi saya untuk membalas lebih daripada itu.

Saya tidak bisa mengomentari karya Anda; karena saya bukan orang yang suka mengkritik karya orang lain. Bagi saya, kritikan terhadap karya seni adalah bentuk apresiasi yang paling kerdil: karena lumrahnya kritikan selalu melahirkan kesalah-pahaman. Tidak semua hal di dunia ini dapat kita mengerti atau sampaikan dengan baik, terlepas dari apa yang dikatakan orang selama ini. Sebagian besar hal penting di dunia ini juga sangat sulit untuk dijelaskan, dan di atas semua itu karya seni adalah hal yang paling sulit untuk dimengerti. Seni adalah hal yang misterius, namun berbeda dengan hal-hal duniawi, ia terus hidup dan bertahan sepanjang masa.

Setelah menyampaikan pembukaan, sekarang ijinkanlah saya untuk mengatakan bahwa bait-bait puisi yang Anda kirimkan tidak memiliki kepribadian, meskipun saya melihat adanya sebuah awal yang cukup menjanjikan. Sesuatu yang sifatnya sangat personal. Saya sangat merasakan ini terutama di puisi terakhir, “My Soul.” Dalam bait-bait yang Anda tulis, saya merasakan ada sesuatu dalam diri Anda yang ingin Anda tunjukkan lewat kata dan nada. Lantas  dalam puisi yang bertajuk, “To Leopardi” saya melihat adanya rasa kagum yang ingin Anda haturkan bagi sang penyair kenamaan, Giacomo Leopardi. Beliau dikenal sebagai seorang penyendiri semasa hidupnya.

Meski begitu, puisi-puisi yang Anda kirimkan masih belum bisa berdiri sendiri, belum mandiri, termasuk puisi yang Anda dedikasikan untuk Leopardi. Surat yang Anda tulis juga menandakan kelemahan-kelemahan yang sama seperti yang saya temukan dalam bait-bait puisi yang Anda susun.

Anda tanya apakah menurut saya puisi-puisi Anda bagus. Anda bertanya pada saya. Anda pasti sudah pernah menanyakan hal yang sama kepada orang lain. Anda mengirimkan bait-bait ini ke berbagai majalah dan berharap mereka bisa diterbitkan. Anda membandingkan bait-bait ini dengan bait-bait karya orang lain; dan Anda merasa terganggu saat ada seorang editor yang menolak karya Anda. Sekarang (karena Anda telah meminta nasihat saya) saya minta Anda untuk menghentikan semua itu.

Selama ini Anda hanya melihat keluar, dan pada saat ini hal itu adalah satu-satunya yang mengganggu kreativitas Anda. Tidak ada orang yang bisa menasihati Anda atau membantu Anda untuk menjadi penulis yang lebih baik—tidak seorangpun. Hanya ada satu cara bagi Anda untuk melakukannya: Anda harus melihat ke dalam diri Anda sendiri. Carilah alasan kenapa Anda ingin menulis; rasakan apakah alasan itu telah menanamkan akarnya jauh ke dalam diri Anda, hati Anda, hingga Anda lebih baik mati daripada diharuskan berhenti menulis. Di atas semua itu, Anda perlu memberanikan diri untuk bertanya kepada diri Anda sendiri: haruskah Anda menulis? Carilah jawabannya di dalam diri Anda. Jika jawaban dari pertanyaan itu sifatnya positif; atau bila Anda menjawab pertanyaan itu dengan lugas dan sederhana: “Saya harus menulis,” maka saya sarankan bagi Anda untuk mulai membangun hidup Anda sesuai dengan jawaban tersebut. Setiap momen dalam hidup Anda harus Anda dedikasikan untuk menulis. Ini adalah kesaksian Anda.

Setelah itu, dekatkan diri Anda kepada Alam. Lalu cobalah, seperti orang yang baru lahir, untuk menggambarkan semua yang Anda lihat, dengar, alami, cintai dan rindukan. Jangan menulis bait-bait puisi cinta; hindarilah bentuk-bentuk tulisan yang generik dan ‘cetek’: karena tulisan macam ini sangat sulit untuk dilakukan dengan sempurna. Dibutuhkan kemampuan yang sangat hebat dan dewasa bagi seorang penulis untuk menguasai tulisan seperti itu, karena sudah terlalu banyak yang melakukannya. Oleh sebab itu, hindarilah tema-tema generik dan cari tema yang berasal dari kehidupan sehari-hari Anda: jabarkan kesedihan Anda dan hasrat dalam hidup Anda. Jabarkan pikiran yang melintas di kepala Anda dan apa-apa saja yang menurut Anda indah. Jabarkan semua itu dengan penuh kasih sayang, dengan kesungguhan, dengan ketulusan dan kerendahan hati—dan selalu gunakan hal-hal yang ada di sekeliling Anda untuk berekspresi dalam tulisan. Gunakan imaji-imaji dari mimpi Anda, serta obyek-obyek dari memori Anda.

Jika keseharian Anda tampak membosankan, jangan salahkan keadaan, tapi salahkan diri Anda sendiri. Itu artinya Anda tidak memiliki kemampuan berseni yang cukup untuk menguak kekayaan dari kehidupan yang terkesan monoton; karena bagi seorang pencipta, tak ada kata bosan ataupun monoton.

Bahkan jika Anda sedang mendekam di dalam sel penjara, dikekang oleh empat tembok tebal, masih ada yang dapat Anda tulis—bukankah Anda masih memiliki kenangan masa kecil Anda? Memori yang diisi dengan segala hal unik dan menarik? Alihkan perhatian Anda ke sana. Angkat semua kesan yang Anda sematkan dalam masa lalu Anda; maka dengan begitu kepribadian Anda juga akan semakin kokoh, Anda akan tenggelam dalam kesunyian dan masa lalu Anda akan kembali—menelan suara-suara lain yang ada di sekitar Anda.

Dari perjalanan ini, melihat ke dalam diri Anda sendiri, menyerap semua sensori yang ada di masa lalu Anda—bait-bait itu akan datang dengan sendirinya. Kalau sudah begitu, Anda takkan repot-repot bertanya kepada orang lain apakah bait-bait itu bagus atau tidak. Anda juga takkan perduli apakah para editor tertarik atau tidak terhadap karya Anda: karena di dalam karya itu Anda akan melihat jati diri Anda, sebuah fragmen dan suara dari kehidupan Anda sendiri.

Suatu karya seni dianggap bagus jika datangnya dari sebuah kebutuhan. Oleh sebab itu, orang akan selalu berusaha menghakimi penciptanya. Tak ada cara lain untuk memahami suatu karya seni.

Karena itu, my dear sir, saya tidak punya nasihat lain untuk Anda, kecuali ini: lihatlah ke dalam diri Anda sendiri dan uji kedalaman hati Anda—jelajahi seluk-beluk kehidupan Anda, dan di tengah semua itu, Anda akan menemukan jawaban dari pertanyaan yang perlu Anda lontarkan: haruskah Anda menulis?

Setelah Anda menemukan jawabannya, terimalah dengan tangan terbuka. Jangan mempertanyakan jawaban itu sendiri. Mungkin Anda memang sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang penyair. Maka terimalah takdir Anda dengan keberanian—pikul bebannya, dan rayakan kebesarannya…namun jangan pernah bertanya apa timbal baliknya dari orang lain.

Seorang pencipta harus bisa menciptakan dunianya sendiri dan mencari semua yang dia butuhkan dari dalam dirinya, serta bersandar hanya pada Alam.

Namun ada juga kemungkinan bahwa setelah Anda melakukan perjalanan ke dalam diri Anda sendiri, Anda akan mendapati bahwa Anda tidak mau jadi seorang penyair (seperti yang sebelumnya saya katakan, jika Anda bisa hidup tanpa menulis, maka jangan coba-coba untuk jadi penulis). Meski begitu, saya berjanji bahwa perjalanan pencarian jati diri yang saya sarankan takkan sia-sia—apapun hasilnya. Anda akan menemukan jalan hidup Anda—dan saya harap jalan itu membawa Anda pada kemakmuran dan kesejahteraan.

Apa lagi yang bisa saya katakan kepada Anda? Menurut saya semua yang penting telah saya utarakan dalam surat ini. Lagipula saya hanya ingin menasihati Anda agar terus mengembangkan diri Anda tanpa ada campur tangan orang lain. Tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa mengganggu proses tersebut kecuali keinginan Anda untuk mendapatkan persetujuan orang lain. Anda jangan sekali-sekali mengharapkan orang lain untuk menjawab pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh diri Anda sendiri. Carilah waktu yang tepat, yang sunyi, di mana Anda bisa berpikir jernih.

Adalah suatu kehormatan bagi saya untuk mengetahui bahwa Anda mengenal Profesor Horaček; saya sangat mengagumi beliau dan selalu mensyukuri kehadiran beliau dalam hidup saya. Jika Anda bertemu dengan beliau, tolong sampaikan rasa hormat saya. Selain itu, saya juga sangat tersanjung beliau masih mengingat saya—saya sungguh menghargai itu.

Bersama dengan surat ini, saya mengembalikan puisi-puisi yang Anda lampirkan sebelumnya. Terima kasih atas kepercayaan Anda terhadap saya; dan saya berharap bahwa lewat surat balasan ini, Anda juga merasakan kepercayaan yang sama dari saya. Saya harap surat ini dapat menjadi awal suatu pertemanan.

Yours faithfully and with all sympathy,

Rainer Maria Rilke

2012  © Fiksi Lotus & Rainer Maria Rilke. Tidak untuk dijual, digandakan ataupun ditukar.

Ernest Hemingway--Hills Like White Elephants




Cianjur, Ruang TV, 19.10 malam
Kamis, 21 Februari 2013



Mydear,, tadi siang aku baca sebuah cerpen karya legendaris cerpenis Amerika, Ernest Hemingway yang berjudul (terjemahan bahasa Indonesianya sih) “Obrolan Siang Bolong”. Membaca karyanya membuat wawasan baru untukku. Setelah membaca cerpen itu, alih-alih mendapat pencerahan, atau kejutan seprti yang biasa aku temukan dalam cerpen-cerpen “biasa”, aku malah mendapat serangkaian pertanyaan yang tak terjawab, bahkan sampai kalimat terakhir aku menemukan sesuatu yang tak selesai, sesuatu yang membuatku menebak-nebak, sesuatu yang sengaja tak disampaikan oleh pengarangnya. Selesai membacanya aku malah terhenyak, tidak menyangka akan disuguhi dengan akhir seperti itu, dan bikin aku sedikit ‘pusing’. Tapi kupikir karyanya luar biasa. Ini yang katanya teknik “the top of the iceberg”, sebuah teknik ketika pengarang hanya menyampaikan seperdelapannya saja dari pesan dan inti cerita yang dikandung, selebihnya diserahkan kepada pembaca, membuat pembaca mempunyai kesempatan iterpretasi yang lebih luas.

Membaca karya Hemingway membuatku sampai heran ko ada manusia yang bisa sejenius itu dalam menulis. Dan yang membuatku LEBIH heran lagi, aku tak pernah (atau tak ingat?) pernah membaca satu pun karya Hemingway, atau SATU pun yang dijadikan bahasan diskusi di kelas Sastra Inggris oleh dosen, SELAMA 4 tahun kuliah! Mon Die...! kemana saja aku selama ini?? Kayaknya aku terlalu sibuk melamun dan mabal dibanding menikmati kesempatan-kesempatan emasku untuk mendalami karya-karya sastra tersohor. Itu lah sebabnya teknik menulisku masih seperti teknik menulis anak sma. Apalagi membaca karya Hemingway, dibandingkan dengan itu tulisan-tulisanku seperti tulisan cakar ayam yang cetek dan remeh temeh. Aku akan mencari karya-karya Hemingway lain dalam versi bahasa aslinya untuk kuapresiasi, tentu saja.

Aku mendapat cerpen ini dari situs ini (yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia,, oleh Maggie Tiojakin,mungkin? Ga ada catatan siapa penerjemahnya soalnya)


Ernest Hemingway – Obrolan Siang Bolong

Bukit-bukit di seberang lembah Sungai Ebro tampak putih memanjang. Di sisi ini tidak ada pepohonan rindang ataupun tempat berteduh alami. Sebuah stasiun kereta duduk terhimpit di antara dua pasang rel besi yang berkilauan di tengah gempuran cahaya matahari siang. Sementara itu, di sebelah stasiun kereta terlihat sebuah bar kecil dengan pintu terbuka lebar; serta selembar tirai manik bambu yang menggantung di ambang pintu guna mengusir lalat yang beterbangan.

Seorang pemuda asal Amerika dan seorang gadis duduk di salah satu meja yang berada di luar stasiun. Hari itu sangat panas dan kereta ekspres dari Barcelona baru akan tiba dalam waktu empat puluh menit ke depan. Kereta tersebut hanya akan berhenti di stasiun ini selama dua menit sebelum melanjutkan perjalanannya ke Madrid.

“Mau minum apa?” tanya si gadis. Dia telah melepas topinya dan meletakkannya di atas meja.

“Apa saja yang enak diminum dalam cuaca panas seperti ini,” kata si pemuda.

“Kalau gitu kita pesan bir.”

“Dos cervezas,” ujar si pemuda sambil menoleh ke arah tirai yang terbuat dari manik bambu.

“Dalam gelas besar?” tanya seorang pelayan wanita dari ambang pintu bar.

“Ya. Dua gelas besar.”

Pelayan itu membawakan dua gelas besar bir serta sepasang tatakan gelas. Ia meletakkan kedua gelas di atas tatakan sambil menatap ke arah sepasang kekasih tersebut. Si gadis tengah mengamati kontur perbukitan yang memanjang. Undakkan itu tampak putih di bawah sinar matahari dan daerah di sekitarnya terlihat gersang kecokelatan.

“Bukit-bukit itu bentuknya seperti segerombol gajah putih,” kata si gadis.

“Aku belum pernah melihat bentuk gajah putih.” Si pemuda meneguk bir dari dalam gelas.

“Tentu saja kau belum pernah melihatnya.”

“Tapi aku mungkin pernah melihatnya,” dalih si pemuda. “Tuduhanmu tidak membuktikan apa-apa.”

Gadis itu kini mengalihkan perhatiannya ke arah tirai manik bambu. “Mereka menuliskan sesuatu di permukaan manik-manik itu,” kata si gadis. “Apa yang mereka tulis?”

“Anis del Toro. Jenis minuman.”

“Boleh dicoba?”

Pemuda itu memanggil pelayan tadi lewat tirai yang sama. Pelayan tersebut melangkah keluar dari bar dan menghampiri pelanggannya.

“Empat real.”

“Dia mau memesan dua Anis del Toro.”

“Dengan air putih?”

“Kau mau menambahkan air putih?”

“Entahlah,” kata si gadis. “Apa masih enak kalau ditambah air?”

“Biasa saja.”

“Jadi tambah air atau tidak?” tanya si pelayan.

“Ya, ditambah air.”

“Rasanya seperti licorice,” ujar si gadis, meletakkan gelas minumannya di atas meja.

“Semua minuman rasanya seperti itu.”

“Ya,” kata si gadis. “Semua minuman rasanya seperti licorice. Terutama semua minuman yang sulit dicari, seperti absinthe.”

“Sudahlah. Jangan dibicarakan.”

“Kau yang memulai,” gerutu si gadis. “Aku cuma bercanda. Aku menikmati minumanku.”

“Baiklah, kalau begitu jangan memicu pertengkaran.”

“Oke. Aku hanya ingin mencoba mencairkan suasana. Tadi aku bilang bukit-bukit itu tampak seperti segerombol gajah putih. Bukankah itu observasi yang cerdas?”

“Observasimu cerdas.”

“Lantas aku ingin mencoba minuman baru. Hanya itu yang kita lakukan selama ini,kan—menikmati berbagai hal sambil mencoba minuman baru?”

“Kurasa begitu.”

Gadis itu kembali memandangi deretan bukit-bukit putih.

“Bukit-bukit itu tampak indah,” kata si gadis. “Mereka tidak benar-benar tampak seperti segerombol gajah putih. Aku hanya bermaksud membandingkan warna bukit dengan warna kulit gajah putih.”

“Mau pesan minuman lagi?”

“Boleh.”

Angin hangat berembus lembut dan membuat tirai manik bambu itu bergoyang hingga menyentuh pinggiran meja.

“Bir ini terasa enak dan dingin,” kata si pemuda.

“Teman yang pas siang ini,” sambut si gadis.

“Operasi itu sangat sederhana, Jig,” ujar si pemuda. “Hanya prosedur kecil, bahkan tidak masuk ke dalam kategori operasi.”

Si gadis menunduk dan mengamati lantai di bawah kaki meja.

“Aku tahu kau takkan keberatan melakukannya, Jig. Benar-benar bukan hal besar, kok. Mereka hanya akan memasukkan udara ke dalamnya.”

Gadis itu tidak merespon perkataan pemuda di hadapannya.

“Aku akan pergi bersamamu dan selalu mendampingimu. Mereka hanya akan memasukkan udara ke dalamnya dan semuanya akan tampak alami.”

“Lantas apa yang akan kita lakukan setelah itu?”

“Setelah itu hubungan kita akan kembali seperti sebelumnya.”

“Apa yang membuatmu begitu yakin?”

“Karena hal itu satu-satunya yang mengganggu hubungan kita, yang membuat kita tidak bahagia.”

Gadis itu menoleh ke arah manik bambu yang tersemat pada tirai di ambang pintu, mengulurkan tangannya dan menggenggam dua manik bambu.

“Kalau begitu menurutmu kita akan bahagia setelah itu.”

“Aku yakin sekali. Kau tidak perlu takut. Aku kenal banyak orang yang pernah melakukannya.”

“Aku juga kenal banyak orang yang pernah melakukannya,” ujar si gadis. “Dan setelah itu mereka tampak sangat bahagia.”

“Well,” kata si pemuda. “Kalau kau enggan melakukannya, maka jangan dilakukan. Aku tidak akan memaksamu. Tapi menurutku prosedurnya sangat sederhana.”

“Dan kau sangat menginginkan aku untuk melakukannya?”

“Kurasa itu yang terbaik. Tapi jangan lakukan kalau kau tidak ingin melakukannya.”

“Jika aku melakukannya, maka semua akan kembali seperti dulu dan kau akan kembali mencintaiku?”

“Sekarang pun aku mencintaimu. Kau tahu itu.”

“Aku tahu. Tapi kalau aku melakukannya, maka hubungan kita akan kembali harmonis; dan jika aku mengatakan ada beberapa hal di dunia ini yang mirip dengan segerombol gajah putih, kau takkan marah?”

“Aku justru akan mendukungmu. Sekarang pun aku mendukungmu, tapi aku sedang tidak bisa berpikir jernih. Kau tahu sendiri bagaimana sikapku jika sedang resah.”

“Kalau aku melakukannya kau takkan pernah merasa resah lagi?”

“Aku bukan resah karena apa yang akan kau lakukan. Karena prosedurnya memang sangat sederhana.”

“Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi aku melakukan hal itu karena aku tidak sayang terhadap diriku sendiri.”

“Maksudmu?”

“Aku tidak sayang terhadap diriku sendiri.”

“Aku sayang terhadapmu.”

“Oh, memang. Tapi aku tidak sayang terhadap diriku sendiri. Namun aku akan tetap melakukan apa yang kau minta karena semuanya akan kembali seperti semula.”

“Aku tidak mau kau melakukannya dengan terpaksa.”

Gadis itu bangkit berdiri dan berjalan ke ujung stasiun kereta. Di seberang sana, di sisi yang lain, padang pasir dan pepohonan tampak menghiasi tepian lembah Sungai Ebro. Jauh dari tempatnya berdiri, gadis itu melihat aliran air sungai dan gugusan pegunungan. Segumpal awan bergerak halus di langit luas, menyeret bayang-bayang yang meneduhkan sebagian padang pasir yang menghampar; dan ia bisa melihat badan sungai lewat celah-celah pepohonan.

“Dan kita bisa memiliki semua ini,” kata si gadis. “Kita bisa memiliki segalanya; dan setiap hari hidup kita akan semakin bahagia.”

“Apa katamu?”

“Kubilang kita bisa memiliki segalanya.”

“Kita memang bisa memiliki segalanya.”

“Tidak, kita tidak bisa memiliki segalanya,” kata si gadis.

“Kita bisa menguasai dunia,” kata si pemuda.

“Kita tidak bisa menguasai dunia.”

“Kita bisa pergi kemana saja.”

“Kita tidak bisa pergi ke mana saja, karena dunia ini bukan milik kita lagi.”

“Tentu saja dunia ini milik kita,” desak si pemuda.

“Bukan. Begitu mereka mengambilnya, kita tidak akan bisa merebutnya kembali.”

“Tapi mereka belum mengambilnya.”

“Lihat saja nanti.”

“Kemarilah, jangan panas-panasan disana,” bujuk si pemuda. “Kau tidak boleh bersikap seperti itu.”

“Aku tidak menunjukkan sikap aneh,” balas si gadis. “Aku hanya tahu beberapa hal yang tidak kau ketahui.”

“Aku tidak ingin kau melakukan sesuatu karena terpaksa—”

“Ataupun sesuatu yang sifatnya tidak baik untukku,” kata si gadis. “Aku tahu. Boleh pesan satu gelas bir lagi?”

“Baiklah. Tapi kau harus mengerti bahwa—”

“Aku mengerti,” kata si gadis. “Bisa tidak kita berhenti bicara sekarang?”

Mereka duduk di meja yang sama dan si gadis memandangi deretan bukit yang dikelilingi oleh tanah gersang di sekitar area lembah; sementara si pemuda memandangi kekasihnya dari seberang meja.

“Kau harus mengerti,” ujar si pemuda. “Bahwa aku tidak mau kau melakukan sesuatu karena terpaksa. Aku tidak keberatan melakukan sesuatu untukmu kalau hal itu sangat berarti bagimu.”

“Apakah hal itu tidak ada artinya bagimu? Kita mungkin punya pemecah masalahnya.”

“Tentu saja hal itu berarti untukku. Tapi aku tidak menginginkan orang lain selain dirimu. Aku tidak mau siapa-siapa, kecuali dirimu. Dan aku juga tahu bahwa prosedurnya sangat sederhana.”

“Aku tahu. Kau sudah mengatakan itu berkali-kali.”

“Kau pikir aku bercanda, tapi memang begitu kenyataannya.”

“Apa kau mau melakukan sesuatu untukku sekarang?”

“Aku akan melakukan apa saja untukmu.”

“Aku minta agar kau please please please please please please please berhenti bicara.”

Si pemuda pun segera bungkam dan menatap tumpukkan koper yang disandarkan pada dinding stasiun kereta. Tersangkut di koper-koper itu adalah label dari berbagai hotel yang telah mereka tempati.

“Tapi aku tidak mau kau berhenti bicara,” kata si pemuda. “Aku tidak perduli apa yang kau bicarakan.”

“Aku akan berteriak kalau gitu,” kata si gadis.

Si pelayan wanita melangkah keluar dari bar melalui tirai manik bambu yang menggantung di ambang pintu seraya membawa dua gelas bir. Ia meletakkan gelas-gelas itu di atas meja. “Kereta kalian akan tiba lima menit lagi,” ujarnya.

“Apa katanya?” tanya si gadis pada si pemuda.

“Kereta kita akan tiba lima menit lagi.”

Gadis itu tersenyum lebar pada si pelayan wanita sebagai tanda terima kasih atas pemberitahuannya.

“Sebaiknya aku membawa koper-koper kita ke sisi lain stasiun sebelum kereta tiba,” kata si pemuda. Gadis itu melempar senyum manisnya ke arah pemuda tersebut.

“Baiklah. Setelah itu kau kembali ke sini dan habiskan bir-mu.”

Pemuda itu mengangkat dua koper besar nan berat dan memindahkannya ke sisi lain stasiun kereta. Sekembalinya darisana, ia melintasi ruang bar, di mana para penumpang yang sedang menunggu kereta tengah membunuh waktu sambil minum-minum. Si pemuda memesan segelas Anis di meja bar dan menatap kerumunan orang di sekelilingnya. Mereka semua tengah menunggu kedatangan kereta. Kemudian, ia melangkah keluar lewat tirai manik bambu. Gadis tadi masih duduk di meja yang sama dan melemparkan senyum ke arahnya.

“Kau sudah merasa lebih baik?” tanya si pemuda.

“Dari tadi juga aku baik-baik saja,” ujar si gadis. “Tak ada yang salah denganku. Aku baik-baik saja.”

Hak Cipta © 2012. Fiksi Lotus dan Ernest Hemingway. Tidak untuk dijual, ditukar, ataupun digandakan.

—————————–

# CATATAN:

> Kisah ini bertajuk “Hills Like White Elephants” karya novelis dan cerpenis Amerika Serikat, ERNEST HEMINGWAY. Pertama kali diterbitkan di koleksi kumpulan cerpen bertajuk “Men Without Women” pada tahun 1927.

>> ERNEST HEMINGWAY adalah seorang novelis dan cerpenis asal Amerika Serikat yang pernah memenangkan Hadiah Nobel di bidang Sastra pada tahun 1954. Termasuk di antara karya-karya populernya adalah: “The Sun Also Rises”, “A Farewell To Arms”, “For Whom The Bell Tolls”, “The Snow Of Kilimanjaro” dan “Old Man And The Sea.”

# POIN DISKUSI:

    Apa kira-kira yang dapat kamu interpretasikan dari simbol bukit-bukit putih dalam cerita ini?
    Imaji apa lagi yang kira-kira kamu anggap sebagai simbol dalam cerita ini? Kenapa?
    Dari bahasa tubuh dan dialog yang terjadi antara si pemuda dan si gadis, kesimpulan apa yang bisa ditarik tentang hubungan mereka?
    Hemingway menggunakan teknik bercerita yang memberi kebebasan luas terhadap pembaca untuk menginterpretasikan inti dari cerita ini. Bagaimana pandangan kamu sebagai pembaca?


Nah, sekarang bagaimana pendapatmu tentang cerpen itu?

Sabtu, 02 Februari 2013

Love. Passion. Performance.




Cianjur, ruang TV, sementara abah berbaring telentang nonton tv di sebelahku 23:40
Sabtu, 2 Feb 2013



Akhir akhir ini ko jadi sering denger kata 'Passion'. Benarkah kebetulan? Tapi banyak org bilang tak ada yang namanya kebetulan, everything has its purposes. bahkan katanya sehelai daun yang gugur mengambil andil dalam menentukan siklus hidup bumi. Seperti kelompok Freemasonry yang menyebut Ordo Ab Chao , Order out of chaos, keteraturan dalam ketidakberaturan. "Love. Passion. Performance. Passion is what u feel. Not what u think. Merupakan produk hati, bukan produk pikiran..." sebuah penggalan kalimat dari-yang-namanya-siapa-lupa-kucatat yang sampai sekarang masih berlarian di kepalaku, setelah menonton acaranya, Young on Top di Metro TV sore ini. Mencerahkan. Setiap manusia punya 'deep passion'nya sendiri-sendiri, something that you love to do, yang memberikan kebahagiaan. Jika bisa menemukan dan menggalinya, manusia itu akan mencapai kesuksesan sekaligus kebahagiaan. Bukan hanya kesuksesan yang kosong, kan banyak orang sukses yang ga bahagia, merasa selalu ada yang kurang. itu karena mereka berpikir uang, kekuasaan atau apapun yang bukan 'deep passion' sejatinya adalah sumber kebahagian, yang merupakan produk pikiran, bukan produk hati. Sekian kesimpulan yang bisa aku tangkap dari dari acara itu :D

Catatan gambar diunduh dari: http://static.oprah.com/images/201207/orig/quotes-passion-v2-01-kurt-vonnegut-600x411.jpg pada 2/2/13

Jumat, 01 Februari 2013

Panggilan Jiwa


Cianjur, ruang TV 23:26
Jum’at, 1 Feb 2013


Mydear, akhir-akhir ini aku merasa gelisah, aku ingin menulis, tapi aku merasa tak dapat menghasilkan tulisan yang bagus. Aku merasa putus asa. Aku membaca cerpen-cerpen yang dimuat di koran-koran atau majalah itu, dan ingin mengikuti arusnya, tapi bergidik dengan berpikir itu sangat orang lain, bukan aku yang sebenarnya, lalu kemudian ideku macet di tengah jalan. Aku berusaha mencari naskah-naskahku yang hilang itu di setiap lekuk rumah, tapi aku tak kunjung menemukannya. Lalu aku merasa kosong, dan aku merasa aku telah jadi cacat dengan kehilangan mereka,kepingan  jiwa-jiwaku yang lain. Aku merindukan mereka, lebih dari ketika aku merindukan pacarku yang mana pun. Aku ingin mendekap mereka lagi, kumpulan kertas-kertas itu, meyentuh tubuhnya yang tipis dan seputih kapur. Mencium aroma kertas lapuk. Menyapa jiwa-jiwa mereka, aku yang lain.
            Aku sampai minta ke Aah, untuk menemukan mungkin ada orang pintar yang bisa melihat dengan mata batin dimana naskah-naskah itu sekarang. Sesuatu yang konyol, mungkin, seenggaknya itu lah kata suamiku, abahnya edelweis, ketika aku mengutarakan ide itu. Tapi itu karena aku saking putus asanya. Adakah mungkin orang-orang seperti itu bisa melacak benda mati? Selama ini yang kutahu mereka bisa melacak orang hilang, atau barang yang hilang, yang tentunya ada pencurinya yang hidup sehingga bisa dilacak, tapi benda mati seperti kumpulan kertas? Mungkin raganya mati, tapi tulisan-tulisan di dalamnya hidup seperti aku yang bernafas sekarang. Jika jeli, kau bisa menemukan denyut kehidupan di dalamnya. Kau bisa menemukan kebahagiaan, kesedihan, arus hidup, segalanya.... dan aku tak bisa menemukannya!!!!!! Dimana dirimu wahai kepingan jiwa-jiwaku???
            Dalam kegelapan ini, aku mencari-cari pencerahan, ngobrol dengan orang yang kuaanggap pantas adalah salah satunya. Dia Mas Hendrajit,direktur the Global Future Institute, sebuah komunitas kajian neolib atau pun semacamnya, temanku ketika aku di Bandung, yang kutemui pertama kali ketika dia jadi pemateri untuk sebuah acara diskusi di Museum KAA dengan AARC. Berikut percakapanku dengannya di chat Facebook:

Aku : mas, bisa inbox-in biar bisa membuat tulisan yang bagus?lagi mumet bgt nih butuh pencerahan

Mas Hendrajit: inboxin yang mana nov

 Aku: iy maksudnya mungkin mas hendrajit punya nasihat buat saya

Mas Hendrajit: oh gitu
Pertama
Menulis itu kamu harus mengenali apa deep passion atau kekedalaman ga rahmu yang sesunguhnya sekarang
itu langkah pertama sebelum berbicara soal how to write-nya
karena menulis jenis apapun tulisan itu, entah ilmiah atau sekadar essay, hanya akan menarik dan berjiwa, kalau kamu mengiktui deep passion- yang melekat dalam sifat bawaanmu

Aku: deep passion, berarti ketertarikan saya, sifat saya, saya yang sebenarnya? iy kan mas?

Mas Hendrajit: iya tepat sekali
karena kamu harus ingat
bagaimanapun juga
menulis hanya sekadar sebuah jembatan
agar pesan pesan jiwa sejatimu tersampaikan pada dunia

Aku: tapi kalo liat requirements kalo mau dimuat di koran2 ato majalah harus mengikuti style mereka ya mas

Mas Hendrajit: nggak juga
justru mereka dimuat karena masing masing
punya style sendiri sendiri
kalau kamu baca kompas beberapa tahun silam
MAW Brouwer, Mahbub Junaidi, Umar Khayam
punya style masing masing

Aku: kalo menulis untuk diri saya sendiri sih saya bisa jadi diri sendiri, tapi kalo meliat cerpen2 koran itu saya rasanya dipaksa untuk menulis jadi orang lain, dan akhirnya tulisan saya mandeg..... permasalahnsejati saya sekarang,,

Mas Hendrajit: jadi style yang mereka masing masing punya
sejatinya berasal dari deep passion masiang masing penulis
fiksi atau kisah nyata rumus ini berlaku sama

Aku: begitu ya,, mungkin saya memang harus jadi diri saya sendiri, menulis yang saya suka, yang saya mau, dan tidak mencoba untuk jadi orang lain

Mas Hendajit: ritu mutlak adanya bagi siapapun yang mau jadi penulis
karena style atau gaya
menunjukkan dia punya deep passion yang konsisten dan menetap
dari situlah menulis
menjadi sarana untuk eksplorasi
sarana untuk menganalisis
sarana untuk pengungkapan isi hati
dan sarana untuk menggugah jiwa banyak oranng atas sebuah isu yang jadi keprihatinan atau concenrn mu pribadi
makanya setiap penulis yag jujur pad diri sendiuri
pasti punya gaya yang berbeda
dan tidak akan sama

Aku: iya betul, tapi ada yang membagi-bagi gitu ya, antara sastra serius sama sastra populer,, kalo saya tulis dengan gaya populer mungkin ga bakal dimuat di kompas ya, hehe

Mas Hendrajit: hehehe
itu juga cara pandang yang keliru\
yang menentukan sastra itu serius atau ngepop
bukan kita sebagai penulis

Aku: gt ya?

Mas hendrajit: kita sebagai penulis hanya menulsi apa yang harus kita tulis
Pram kan ga peduli tulisan dia itu sastra atau bukan
dia menulis mengikuti deep passion ini sendiri
Emile Zola menulis karya karya-nya karena deep passion dia
yang kebetulan sebelumnya pernah jadi wartawan politik
deep passion Pram yang begitu kuat dalam menelusuri arsip arsip dan riset
menghasilkan sebuah genre atau aliran sastra tertentu
tapi itu kan penilaian para kritikus
sastra
bukan mau maunya dia
Zola, karena pernah jadi wartawan politik
karya karya sastranya sangat peka
dalam menggambarkan profil orang
karena wartawan terbiasa memulis feature
atau profil sosok
saya kagum pada karya Zola
Theresa Raquim
begitu kuat penggambaran profil dan karakter tokoh2nya sehingga mampu menjembatani ide besar Zola
dalam novel itu

Aku: hmmm tp aku bukan pram yg pernh dipenjara ato emi zola yg pernah jd wartawan. aku cmn perempuan biasa,, hihihi. kdg berpikir mungkin the thrill of life dibutuhkn utk inspirasi,,,
bukn hidup yg biasa2 saja

Mas Hendrajit: deep passion-ketertarikan dan minat-bakat-perbuatan
itu intinya novi
bukan soal pernah dipenjara atau jadi wartawan
kamu harus nangkap inti pesan yang kumaksud
kalau toh pram sejatinya adalah seorang pengarsip dan periset sejati mendahului karya sastranya
itu karena dia mengikuti deep passion dan ketertarikan-minat yang
kemudian dia jabarkan dalam bakat sebagai penulis dan sastrawan
kebetulan saja dia memilih jalur fiksi
kalaupun dia menulis non fiksi aku yakin style-nya pun sama saja dengan dia menulis fiksi
sastra bagi pram hanya sarana melayani deep passion dia sebagai pengarsip dan periset
Zola, akhinya memakai sastra untuk melayani deep passion dia sebagai wartawan investigator
tak heran jika pram maupun zola,amat kuat dalam karaterisasi tokoh
dan dalam menghidupkn setting sosial dari cerita
sehingga jiwa dari tema tulisan bisa terjembatani dengan baik

Mas hendrajit:  masalah terbesar dirimu adalah, kamu tidak pernah menyempatkan diri mencari tahu apa deep passion sesungguhnya
bahkan sewaktu kamu masih di kampus sekalipun
padahal jiwamu meronta untuk disapa
untuk dikenali
karena kamu pada fase fase itu selalu lebih mengutamakan olah pikir dan rasio
bahkan egomu
tanpa kamu sadari, waktu cepat berlalu, dan kamu tahu tahu sudah berumah tangga
tapi belum terlambat, dan selalu ada waktu untuk berobah
Demikian tausiah singkat pagi ini
hehehe

Aku: makasiiiiiihhhh bgt mas,,, atas pencerahannya,,, saya pikir saya sebenarnya sudah tau apa deep passion saya,, cmn mungkin belum saya gali bener2,,
selama ini saya selalu merasa kosong,, karena dunia kepenulisan yang sudah saya tinggalkan teralu lama,,
teman2 penyair saya dari waktu sma sekarang bahkan sudah menerbtkan novel, atau jadi vcerpenis mahir,, dan saya masih jalan di tempat. mungkin memang karena ego dan kesombongan saya

Mas Hendrajit: itulah

Aku: saya jadi sepetrti ini

Mas Hendrajit: hehehe

AKu: what a bitter!
 eh malah ketawa, hihihii

Mas hendrajit: hehehehe
 ikutan dong tadarusan DBR

Aku: mas hendrajit suka ikut ya?
di mkaa kan?

Mas henrdajit: untuk bahas bab2 tertentu aku selalu diundang jadi pembahas
baik bukunya cak ruslan maupun ali satro
10:22am
           
            Tanpa sadar aku berurai air mata ketika aku chatting dengan mas Hendrajit. Terutama di bagian ketika aku menuliskan bahwa aku merasa kosong, dan aku sudah tertinggal jauh di belakang teman-temanku yang lain sesama penulis. Hal itu membuat anak-anak yang bermain dengan Edelweis di rumahku, menatapku keheranan. Mereka sangat polos, dan tentu mereka bertanya kenapa aku menangis. Sesuatu yang hanya bisa kujawab dengan senyum pahit.
Seperti yang bisa kau baca di chat history tadi, mydear... rupanya aku harus mengikuti panggilan jiwaku lagi, sesuatu yang selama ini telah lama aku abaikan, mungkin itu lah sebabnya aku merasa hidupku dalam kehampaan, merasa ada sesuatu yang kurang, jiwaku terasa kosong. Dengan menulis aku merasakan eksistensiku, aku merasa penuh, dan aku bisa jadi diriku sendiri, merasa berharga, merasa punya sesuatu yang bisa diperjuangkan untuk membuatku rela meneruskan hidup ini. Aku sudah lama sekali tidak  menulis, aku bahkan sudah bertahun-tahun tidak meyapamu lagi, mydear, tidak menulisimu lagi dengan pikiran-pikiranku, kejadian-kejadian penting dalam hidupku.
            Sekarang aku harus memulainya lagi dari nol, dengan pahit, meraba-raba dengan buta untuk menemukan cahaya. Menulisimu, membuat blog baru, mencoba membaca lagi, merenung lagi dan menulis lagi, adalah awalan dari semua itu. Semoga dan semoga aku bisa tetap konsisten. Karena aku tahu, untuk ini lah aku dilahirkan..


Catatan: Gambar diambil dari http://images.elephantjournal.com/wp-content/uploads/2012/06/Doorway-to-my-soul1-500x375.jpg (1/2/13)